Eskalasi
harga pangan dan pertanian sampai tiga kali lipat selama tiga tahun terakhir
memang meresahkan, tidak terkecuali bagi Indonesia. Tiga faktor utama berikut
sering dianggap bertanggung jawab, yakni (1) fenomena perubahan iklim yang
mengacaukan ramalan produksi pangan strategis, (2) peningkatan permintaan
komoditas pangan karena konversi terhadap biofuel, dan (3) aksi para investor
(spekulan) tingkat global karena kondisi pasar keuangan yang tidak menentu.
Meski
begitu, eskalasi harga tersebut juga menjadi peluang (dan tantangan) baru untuk
merumuskan strategi pembangunan pertanian yang kompatibel dengan perubahan zaman
Pembangunan pertanian di Indonesia sebenarnya telah
menunjukkan kontribusi yang sukar terbantahkan, bahwa peningkatan produktivitas
tanaman pangan melalui varietas unggul, lonjakan produksi peternakan dan
perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan dalam empat
dasawarsa terakhir. Pembangunan perkebunan dan agroindustri juga telah mampu
mengantarkan pada kemajuan ekonomi bangsa, perbaikan kinerja ekspor, dan
penyerapan tenaga kerja.
Singkatnya, kinerja perjalanan pertanian Indonesia jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan angka 3,51 persen per tahun rata-rata pertumbuhan pada periode 1960-2006—dihitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
Singkatnya, kinerja perjalanan pertanian Indonesia jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan angka 3,51 persen per tahun rata-rata pertumbuhan pada periode 1960-2006—dihitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
Pada tahap awal atau fase konsolidasi 1967-1978 sektor
pertanian hanya tumbuh 3,38 persen, kemudian melonjak sangat tinggi dan
mencapai 5,72 persen pada periode 1978-1986, kemudian kembali melambat 3,39
persen pada fase dekonstruksi 1986-1997 dan terus melambat 1,57 persen sampai
periode krisis ekonomi.
Pada masa krisis ekonomi itu, performa baik yang dicapai
subsektor perkebunan dan peternakan hampir tidak membawa dampak berarti karena
daya beli yang terus menurun. Pada era reformasi (2001-2006), pertanian
Indonesia telah tumbuh 3,45 persen per tahun, dan belum dapat dikatakan telah
menuju ke arah yang benar (selengkapnya lihat Arifin, 2007).
Tiga prinsip penting Selama empat dasawarsa terakhir, strategi
pembangunan pertanian mengikuti tiga prinsip penting: (1) broad-based dan
terintegrasi dengan ekonomi makro, (2) pemerataan dan pemberantasan kemiskinan,
dan (3) pelestarian lingkungan hidup. Dua prinsip utama telah menunjukkan kinerja
yang baik, seperti diuraikan di atas, karena dukungan jaringan irigasi,
jalan-jembatan, perubahan teknologi, kebijakan ekonomi makro, dan sebagainya.
Konsep revitalisasi pertanian yang dicanangkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pola pikir dan
strategi besar di atas. Karena fenomena Revolusi Hijau serta perspektif
konsistensi tersebut, pencapaian swasembada beras di era 1980-an juga telah
diikuti oleh peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan petani beras
di Indonesia, pemerataan sektor pedesaan dan perkotaan.
Pada waktu itu sentra produksi beras di Jawa, Lampung,
Sumatera Selatan, Sumatera Barat Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Barat, dan lain-lain juga identik dengan kesejahteraan dan pemerataan
pendapatan.
Prinsip ketiga tentang pelestarian lingkungan hidup memang
belum banyak menunjukkan hasil karena baru dikembangkan secara serius pasca-KTT
Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992.
Singkatnya, pembangunan pertanian harus mampu membawa misi
pemerataan apabila ingin berkontribusi pada pemberantasan kemiskinan serta
menjamin tingkat keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Strategi baru
Strategi baru
Berikut ini adalah strategi baru yang coba ditawarkan
sehubungan dengan determinan pola baru pembangunan pertanian di masa mendatang.
Strategi yang telah terbukti dan teruji selama ini tidak harus ditinggalkan,
hanya perlu dilengkapi dengan beberapa dimensi berikut:
Pertama, pembangunan pertanian wajib mengedepankan riset
dan pengembangan (R&D), terutama yang mampu menjawab tantangan adaptasi
perubahan iklim. Misalnya, para peneliti ditantang untuk menghasilkan varietas
padi yang mampu bersemi di pagi hari, ketika temperatur udara tidak terlalu
panas. Kisah padi gogo-rancah pada era 1980-an yang mampu beradaptasi dan
tumbuh di lahan kering dan tadah hujan, kini perlu disempurnakan untuk
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari sekadar 2,5 ton per hektar.
Bahwa pertanian Indonesia tidak harus bertumpu hanya pada lahan di Jawa
tampaknya telah disepakati, hanya perlu diwujudkan secara sistematis. Misalnya,
varietas yang baru perlu diuji multilokasi dan uji adaptasi di sejumlah daerah
kering dengan memberdayakan jaringan universitas daerah dan Balai Pengembangan
Teknologi Pertanian yang tersebar di daerah.
Kedua, integrasi pembangunan ketahanan pangan dengan strategi pengembangan energi, termasuk energi alternatif. Strategi ini memang baru berada pada tingkat sangat awal sehingga Indonesia tidak boleh salah melangkah. Indonesia memang terlambat sekali dalam menyandingkan ketahanan pangan dengan energi alternatif. Maksudnya, Indonesia butuh sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebijakan pada tingkat Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang Bahan Bakar Nabati dan Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang Diversifikasi Energi.
Kedua, integrasi pembangunan ketahanan pangan dengan strategi pengembangan energi, termasuk energi alternatif. Strategi ini memang baru berada pada tingkat sangat awal sehingga Indonesia tidak boleh salah melangkah. Indonesia memang terlambat sekali dalam menyandingkan ketahanan pangan dengan energi alternatif. Maksudnya, Indonesia butuh sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebijakan pada tingkat Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang Bahan Bakar Nabati dan Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang Diversifikasi Energi.
Ketiga, pembangunan pertanian perlu secara inheren
melindungi petani produsen (dan konsumen). Komoditas pangan dan pertanian
mengandung risiko usaha seperti faktor musim, jeda waktu (time-lag), perbedaan
produktivitas dan kualitas produk yang cukup mencolok. Mekanisme lindung nilai
(hedging), asuransi tanaman, pasar lelang dan resi gudang adalah sedikit saja
dari contoh instrumen penting yang mampu mengurangi risiko usaha dan
ketidakpastian pasar. Operasionalisasi dari strategi ini, perumus dan
administrator kebijakan di tingkat daerah wajib mampu mewujudkannya menjadi
suatu langkah aksi yang memberi pencerahan kepada petani, memberdayakan
masyarakat, dan memperkuat organisasi kemasyarakatan untuk mampu berperan dalam
pasar berjangka komoditas yang lebih menantang. Di sinilah pertanian tangguh
dan berdaya saing akan dapat terwujud.
Sektor Pertanian Diminta Keluar Dari
Sebab, sektor pertanian
adalah sektor paling utama untuk negara agraris seperti Indonesia
Pemerintah Indonesia
didesak untuk mengeluarkan sektor pertanian dari putaran Doha saat Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO).
Menurut
Sekretaris Jendral Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (Agra) Erpan Faryadi,
pemerintah Indonesia dan negara berkembang lainnya harus mampu melepaskan
sektor pertanian dari perundingan WTO. Pasalnya, sektor pertanian merupakan
sektor paling utama untuk negara agraris seperti Indonesia.
"Kalau
ini masuk terlalu besar pertaruhan untuk kepentingan negara, kita harus selalu
mendesak pemerintah Indonesia agar sektor pertanian dikeluarkan dari
perundingan WTO," kata Erpan saat konferensi pers tentang WTO di Jakarta,
Selasa, 24 November 2009.
Erpan
memandang, perjanjian tentang sektor pertanian sangat merugikan bagi mayoritas
petani negara-negara berkembang, terutama dalam soal tarif, serta pemberian
subsidi untuk para petani.
Dengan tidak adanya dua fasilitas tersebut, hasil industri pertanian negara berkembang akan sangat sulit untuk bersaing dengan negara maju.
Dengan tidak adanya dua fasilitas tersebut, hasil industri pertanian negara berkembang akan sangat sulit untuk bersaing dengan negara maju.
Selain
sektor pertanian, sektor lain yang juga penting adalah industri dan jasa.
Namun, secara skala prioritas, sektor pertanian jauh lebih penting ketimbang dua
sektor tersebut mengingat 48 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidup
dari pertanian.
Lebih
lanjut, Erpan menilai krisis keuangan saat ini yang terjadi merupakan momentum
yang tepat bagi negara berkembang untuk menghentikan putaran Doha.
Sementara
itu, peneliti senior Instituted of Global Justice (IGJ) Bonnie Setiawan menilai
saat ini, WTO sudah keluar dari tujuan awalnya yaitu sebagai organisasi yang
mengatur perdagangan bebas dengan menghilangkan dan mengurangi
hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif dan non tarif.
"Kita
harapkan WTO hanya mengurusi mengenai perdagangan barang saja tidak mengenai
hal lain seperti pertanian dan HaKI (hak atas kekayaan intelektual),"
ujarnya.
Bonnie
memandang, selama ini WTO telah jauh melangkah dengan mulai mengurusi berbagai
kebijakan yang jauh dari kekuasaannya dan keluar dari tujuan awal. Selain itu,
WTO sangat memiliki ketidak adilan karena lebih memihak kepada negara maju.
"WTO
bukan hanya rezim yang membuka pasar, namun juga merupakan rezim yang membuka
investasi. Investasi merupakan masuknya intensitas asing ke negara lemah. Salah
satu kebijakan WTO yaitu HAKI yang meneriakkan hak paten hanya mampu digunakan
oleh industri dan negara kuat, yang tidak mungkin dimiliki negara lemah atau
usaha kecil karena biaya yang cukup tinggi, ini kebijakan yang tidak
adil," ujarnya.
Selain
itu, Putaran Doha yang juga direncanakan dapat selesai pada 2010 ini sangat
tidak menguntungkan bagi Indonesia. Sebab, Putaran Doha membahas dua hal yang
sangat urgen yaitu penghapusan subsidi dan pembukaan pasar.
"Kita
berharap Indonesia mampu membuat WTO banting stir untuk membeli negara
berkembang, dengan kekuasaan saat ini sebagai wakil pemimpin sidang dalam
pertemuan KTM WTO mendatang," katanya.
Di
tempat terpisah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengaku untuk
mengeluarkan sektor pertanian dari putaran Doha sangat tidak mungkin.
"Dalam negoisasi tidak mungkin satu sektor dikeluarkan, kita harus catat
untung ruginya," tuturnya.
Dengan
semakin tingginya kesadaran akan pentingnya produk pertanian organik membuat
pasarnya kian terbuka. Hanya, sampai saat ini para petani belum bisa memenuhi
kebutuhan pasar pertanian organik tersebut.
"Pasar
pertanian organik akan menjadi tren saat ini dan di masa mendatang. Dari segi
harga terdapat perbedaan yang amat jauh antara hasil pertanian organik dengan
pertanian yang masih memakai bahan kimiawi," kata Kepala Dinas Pertanian,
Kehutanan, dan Perkebunan (Distanhutbun) Kab. Bandung, Ir. H. Tisna Umaran. Di
ruang kerjanya, Selasa (17/11).
Lebih jauh Tisna mengatakan, beras organik di pasaran harganya di pasaran mencapai Rp 11.000/kg. "Sedangkan beras biasa yang penanamannya masih memakai bahan kimiawi hanya Rp 5.500 sampai Rp 6.000 per kg," katanya.
Lebih jauh Tisna mengatakan, beras organik di pasaran harganya di pasaran mencapai Rp 11.000/kg. "Sedangkan beras biasa yang penanamannya masih memakai bahan kimiawi hanya Rp 5.500 sampai Rp 6.000 per kg," katanya.
Demikian
pula dengan kebutuhan pasar belum bisa dipenuhi para petani pertanian organik.
"Pertanian organik yang menerapkan sistem intensifikasi sekitar 250 hektar
dengan rata-rata produksi antara 8,5 ton sampai 9 ton. Dalam setahun produksi
beras organik Kab. Bandung sekitar 250 ton," katanya.
Sedangkan
kebutuhan pasar di atas produksi atau terdapat sekitar 500 Kg/bulan yang belum
bisa dipenuhi petani. "Jadi dalam setahun sekitar 6 ton pasar padi organik
bisa dipenuhi," katanya.
Hanya, hasil pertanian
organik, kata Tisna, harus memenuhi persyaratan cukup ketat. "Misalnya
standard nasional yang ditetapkan Sucofindo. Rencananya pada Rabu besok (hari
ini, red) akan ada panen raya padi organik di Blok Panyaungan, Kec. Cangkuang,
seluas 40 hektare," katanya.(A-71/A-50)***
Bulan September 2009 adalah
bulan yang mungkin tidak bisa dilupakan oleh jutaan petani gurem di negeri ini.
Di bulan itu, petani gurem yang hanya memiliki lahan kuran dari 0,5 hektar
pantas resah. Pasalnya, pada bulan itu DPR mengesahkan Undang Undang (UU)
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB).
Sebelumnya jutaan petani
gurem di Indonesia tentu berharap UU PLPPB itu dapat mengentaskan mereka dari
sepiral kemiskinan yang selama ini menyesakan kehidupannya. Sepiral kemiskinan
itu adalah akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan. Namun harapan petani
gurem itu ternyata bertepuk sebelah tangan.
UU PLPBB justru semakin
meminggirkan petani gurem secara legal. Kini, nasib petani gurem laksana di
ujung tanduk. Bagaimana tidak melalui UU PLPPB itu pemerintah mengijinkan
masuknya korporasi besar ke sektor pertanian pangan. Artinya, harapan petani
gurem untuk memiliki akses terhadap lahan pertanian secara lebih layak semakin
tipis.
Menurut Direktur Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Hilman Manan, keputusan untuk
mengundang korporasi dalam pertanian pangan disebabkan oleh tren ke depan
pengembangan pertanian pangan dalam skala besar oleh korporasi.
Dibukanya pintu bagi
korporasi besar dalam pertanian pangan ini dipastikan akan segera diikuti
dengan pembukaan lahan yang besar-besaran bagi korporasi yang bersangkutan.
Sebelumnya roadmap investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga
mengusulkan pemberian insentif berupa akses lahan secara luas kepada para
pemilik modal yang masuk ke sektor pertanian pangan. Ketentuan UU PLPPB jelas
mengabaikan realitas kehidupan petani di Indonesia yang didominasi oleh petani
gurem.
Lahan Petani Gurem
Berkurang
Padahal dari tahun ke tahun
akses petani gurem atas lahan pertanian semakin berkurang. Menurut Dosen
Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani, Ph.D, jika pada tahun 1980-an
kepemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka
sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25 hektar saja. Meningkatnya
jumlah petani gurem diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS).
Data BPS menyebutkan bahwa
jumlah petani gurem dalam kurun waktu tahun 1993 hingga 2003 meningkat rata –
rata sebesar 2,6 persen per tahunnya. Di Pulau Jawa jumlah petani gurem
mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani.
Sebaliknya, penguasaan
lahan yang sangat luas justru diperlihatkan oleh korporasi-korporasi besar. Di
negeri ini, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta
hektar lahan. Atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120
ribu hektar lahan. Bahkan pada tahun 1998, sebanyak 10 konglomerat di Indonesia
telah menguasai lahan seluas 65 ribu hektar.
UU PLPPB jika
diimplementasikan justru akan melestarikan ketimpangan kepemilikan lahan
seperti tersebut di atas. Dengan dalih mengusahakan pertanian pangan, para
pemilik modal akan segera menguasai lahan di negeri ini secara labih luas.
Dampak sosial dari penguasaan lahan bagi pemilik modal terhadap lahan pertanian
secara luas tersebut adalah semakin tertutupnya akses petani gurem atas lahan pertanian.
Sangat mungkin nantinya
para petani gurem tersebut akan menjual lahan yang dimilikinya kepada para
pemilik modal yang telah menguasai lahan secara lebih luas dan dalam jangka
waktu yang lama. Selanjutnya para petani gurem tersebut akan beralih profesi
menjadi sekedar buruh tani bagi para korporasi di sektor pertanian pangan
tersebut.
Jutaan petani gurem yang
ada di Jawa dan luar Jawa akan dibiarkan berkompetisi dengan
korporasi-korporasi pertanian yang mampu menguasai lahan secara luas. Akhir
dari kompetisi itu pun sudah dapat ditebak, yaitu dengan kemenangan telak
korporasi-korporasi pertanian pangan.
Tunda UU PLPPB
Selain itu, ketentuan UU
PLPPB dipastikan akan menambah jumlah konflik agraria di negeri ini. Hingga
tahun 2006 saja telah terdapat 1753 kasus konflik agraria. Perebutan penguasaan
atas lahan produktif berupa lahan perkebunan atau pertanian adalah salah satu
konflik yang sering terjadi di negeri ini. Dalam konflik agraria tersebut
petani bukan hanya melawan negara namun juga melawan korporasi-korporasi besar
yang mendapat dukungan negara dalam menguasai lahan secara luas.
Sebagai pihak yang
diberikan mandat untuk melindungi masyarakat, utamanya masyarakat yang rentan,
negara sejatinya harus berpihak kepada petani gurem yang memiliki lahan kurang
dari 0,5 hektar. Artinya, kebijakan negara seharusnya bukan membuka pintu bagi
korporasi-korporasi besar untuk bergerak dibidang pertanian pangan dengan
insentif penguasaan lahan secara luas.
Negara harusnya, meningkatkan produktifitas petani gurem dalam pertanian pangan. Peningkatan produktifitas petani gurem itu hanya dapat dilakukan bila ketimpangan kepemilikan lahan dapat diatasi. Akses lahan harus dibuka seluas-luasnya bagi petani gurem bukan bagi korporasi besar. Tanpa akses terhadap lahan yang memadai, segala upaya untuk memberdayakan petani gurem hanya sekedar jargon politik saja.
Negara harusnya, meningkatkan produktifitas petani gurem dalam pertanian pangan. Peningkatan produktifitas petani gurem itu hanya dapat dilakukan bila ketimpangan kepemilikan lahan dapat diatasi. Akses lahan harus dibuka seluas-luasnya bagi petani gurem bukan bagi korporasi besar. Tanpa akses terhadap lahan yang memadai, segala upaya untuk memberdayakan petani gurem hanya sekedar jargon politik saja.
Terkait dengan hal itulah,
ada baiknya bila ketentuan dari UU PLPPB ditunda pelaksanaanya hingga tercapai
keseimbangan penguasaan lahan pertanian bagi petani gurem di negeri ini. Tanpa
ada keadilan penguasaan lahan maka masuknya korporasi besar di dalam pertanian
pangan tak lebih hanya sebuah mimpi buruk bagi jutaan petani gurem di
Indonesia.
etika revolusi hijau (green
revolution) dikenalkan awal 1970-an dan berkembang hingga terbukti ampuh dengan
pencapaian swasembada beras nasional tahun 1984, penyuluhan pertanian banyak
disebut sebagai salah satu kunci kisah sukses tersebut. Kini hampir seperempat
abad setelah even tersebut, nampaknya menjadi momen yang penting untuk
mengengok kembali eksistensi dan kondisi terkini atas penyuluhan pertanian.
Penyuluhan pertanian secara
umum dipahami sebagai kegiatan menyebarluaskan informasi pertanian serta
membimbing usahatani terhadap petani. Dinamika perjalanan penyuluhan pertanian
bergerak sejalan dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi nasional. Ketika
kebijakan nasional memberi prioritas yang tinggi pada pembangunan pertanian
maka aktivitas penyuluhan berkembang dengan sangat dinamis, dan sebaliknya
ketika prioritas pembangunan pertanian tidak menjadi agenda utama maka
penyuluhan pertanian mengalami masa suram dan stagnasi.
Kejayaan Masa Lalu
Terlepas dari kontraversi
dampak revolusi hijau terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan sumber
daya, fakta sejarah telah mencatat masa kejayaan penyuluhan pertanian dalam
mensukseskan program swasembada pangan. Berbagai dokumentasi badan
internasional maupun nasional mencatat prestasi gemilang atas peran penting
penyuluhan pertanian.
Sejak awal tahun 1970-an para petugas penyuluh dalam berbagai level dibawah program bimbingan missal (BIMAS) bahu membahu memberikan bimbingan teknis (know-how) kepada petani untuk mempraktekan budidaya padi terpadu yang dikenal dengan “panca usaha tani”. Dengan dukungan politik dan finansial yang baik, penyuluh dapat menjalankan fungsinya dengan lancar. Sistim penyuluhan latihan dan kunjungan (training and visit) yang diadopsi dari model Bank Dunia-FAO dapat dikembangkan dengan efektif.
Sejak awal tahun 1970-an para petugas penyuluh dalam berbagai level dibawah program bimbingan missal (BIMAS) bahu membahu memberikan bimbingan teknis (know-how) kepada petani untuk mempraktekan budidaya padi terpadu yang dikenal dengan “panca usaha tani”. Dengan dukungan politik dan finansial yang baik, penyuluh dapat menjalankan fungsinya dengan lancar. Sistim penyuluhan latihan dan kunjungan (training and visit) yang diadopsi dari model Bank Dunia-FAO dapat dikembangkan dengan efektif.
Penyuluhan pertanian yang
sistematis tersebut merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan menggenjot
produkivitas padi. Sebelum introduksi revolusi hijau, produktivitas padi hanya
berkisar pada 1-2 ton/ha. Pengunaan sarana produksi dan sistim budidaya padi
modern telah mampu meningkatkan produktivitas padi menjadi 2-4 ton/ha.
Setelah pencapaian
swasembada beras, prioritas pembangunan nasional nampaknya tidak lagi perpihak
pada pertanian. Dalam dokumen kebijakan pembangunan, setelah tahapan prioritas
pembangunan pertanian, dilanjutkan dengan pembangunan industri yang berbasis
pertanian. Dalam prakteknya, hal itu tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
Industri-industri yang dikembangkan tidak berkaitan sama sekali dengan
pertanian. Sudah bisa diduga bahwa pembangunan pertanian mengalami stagnasi
bahkan kemunduran yang luar biasa.
Terkait dengan penyuluhan pertanian, sistem kelembagaan dan sistem tata kerjanya juga mengalami perubahan dengan pola yang tidak jelas. Afiliasi kelembagaan serta tuntutan kompetensi penyuluh juga berubah dengan arah yang tidak berpola. Ketika masa revolusi hijau penyuluh di lapangan yang langsung bersentuhan dengan petani memiliki homebase di Balai Penyuluhan Pertanian/BPP yang ada di setiap kecamatan, namun sejak tahun 1990-an kelembagaan menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan.
Terkait dengan penyuluhan pertanian, sistem kelembagaan dan sistem tata kerjanya juga mengalami perubahan dengan pola yang tidak jelas. Afiliasi kelembagaan serta tuntutan kompetensi penyuluh juga berubah dengan arah yang tidak berpola. Ketika masa revolusi hijau penyuluh di lapangan yang langsung bersentuhan dengan petani memiliki homebase di Balai Penyuluhan Pertanian/BPP yang ada di setiap kecamatan, namun sejak tahun 1990-an kelembagaan menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan.
Dalam hal kompetensi
penyuluh, orientasi berubah-ubah dari tuntutan kompetensi tunggal misalnya
tanaman pangan (monovalen) menjadi kompetensi plural (polivalen). Setelah
beberapa waktu, tuntutan kompetensi juga dikembalikan lagi ke monovalen. Hal
ini membingungkan penyuluh di lapangan. Implementasi UU Otonomi Daerah juga
semakin membuat penyuluhan pertanian menjadi tidak pasti baik dalam afiliasi
kelembagaan maupun personalianya. Meskipun salah satu hal ideal yang ingin
dicapai dengan otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada khalayak
sesuai dengan kondisi lokal, namun dalam prakteknya masih jauh dari harapan.
Bagi daerah dimana kepala
daerah dan politisi lokalnya memiliki perhatian besar pada pembangunan
pertanian maka pembangunan dan penyuluhan pertanian berkembang pesat. Namun
sebaliknya, cukup banyak kepala daerah dan politisi lokal yang tidak memandang
penting atas pembangunan pertanian, akibatnya kedudukan penyuluhan pertanian
menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan
Revitalisasi Penyuluhan
Masa-masa suram pembangunan
pertanian dan lebih khusus lagi penyuluhan pertanian telah berdampak pada
stagnasi produksi pertanian. Hal ini juga telah medorong pemerintah pusat dan
DPR untuk merancang perundangan penyuluhan pertanian. Melalui pembahasan
panjang dan melelahkan, pada Oktober 2006 telah diundangkan UU No.16/2006
tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Salah satu
amanat UU tersebut adalah pembentukan kelembagaan penyuluhan di berbagai level
administrasi pemerintahan, selain itu pemerintah daerah harus berkontribusi
terhadap pendanaan kelembagaan dan operasionalisasinya.
Dalam prakteknya tidak mudah, interpretasi UU Otonomi Daerah yang memberi ruang besar bagi kepala daerah dan DPRD untuk mengatur kelembagaan daerah kadang-kadang mengabaikan dan tidak memberi ruang yang cukup atas amanat UU SP3K. Implementasi kebijakan penyuluhan yang lain adalah perekrutan petugas penyuluh bantu/kontrak yang ditagetkan mencapai 10.000 orang sampai dengan 2007. Langkah ini cukup membantu mengatasi persoalan kekurangan penyuluh lapangan di daerah akibat banyak petugas pensiun atau beralih lembaga dan profesi setelah otonomi daerah.
Dalam prakteknya tidak mudah, interpretasi UU Otonomi Daerah yang memberi ruang besar bagi kepala daerah dan DPRD untuk mengatur kelembagaan daerah kadang-kadang mengabaikan dan tidak memberi ruang yang cukup atas amanat UU SP3K. Implementasi kebijakan penyuluhan yang lain adalah perekrutan petugas penyuluh bantu/kontrak yang ditagetkan mencapai 10.000 orang sampai dengan 2007. Langkah ini cukup membantu mengatasi persoalan kekurangan penyuluh lapangan di daerah akibat banyak petugas pensiun atau beralih lembaga dan profesi setelah otonomi daerah.
Dalam banyak kasus, kinerja
penyuluh bantu juga diragukan karena dengan status kontrak sebagian digunakan
sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan yang lebih permanen. Status
tersebut mempengaruhi semangat dan kinerjanya di lapangan sehingga perlu
ditinjau kembali.
Tantangan Masa Depan
Sejalan dengan perubahan
global, dunia pertanian mengalami dinamika yang luar biasa. Model pendekatan
lama dimana penyuluhan merupakan agen transfer teknologi dan informasi sudah
tidak cukup. Tuntutan di lapangan semakin rumit sehingga jika penyuluhan
pertanian sebagai penyedia public goods tidak bisa berperan dengan baik maka
akan semakin ditinggalkan oleh penguna tradisionalnya. Pada saat ini penyuluh
lapangan swasta yang juga merupakan pelayan teknis perusahaan sarana produksi
nasional dan multinasional juga telah merambah ke desa-desa.
Daram era baru pertanian, penyuluh lapangan dituntut untuk memiliki fungsi paling tidak dalam tiga hal yaitu transfer teknologi (technology transfer), fasilitasi (facilitation) dan penasehat (advisory work). Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, penyuluh pertanian lapangan mestinya juga menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Tema-tema penyuluhan juga bergeser tidak hanya sekedar peningkatan produksi namun menyesuaikan dengan isu global yang lain misalnya bagaimana menyiapkan petani dalam bertani untuk mengatasi persoalan perubahan iklim global dan perdagangan global. Petani perlu dikenalkan dengan sarana produksi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim, selain itu teknik bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan terhadap cekaman suhu tinggi nampaknya akan menjadi tema penting bagi penyuluhan pertanian masa depan.
Daram era baru pertanian, penyuluh lapangan dituntut untuk memiliki fungsi paling tidak dalam tiga hal yaitu transfer teknologi (technology transfer), fasilitasi (facilitation) dan penasehat (advisory work). Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, penyuluh pertanian lapangan mestinya juga menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Tema-tema penyuluhan juga bergeser tidak hanya sekedar peningkatan produksi namun menyesuaikan dengan isu global yang lain misalnya bagaimana menyiapkan petani dalam bertani untuk mengatasi persoalan perubahan iklim global dan perdagangan global. Petani perlu dikenalkan dengan sarana produksi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim, selain itu teknik bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan terhadap cekaman suhu tinggi nampaknya akan menjadi tema penting bagi penyuluhan pertanian masa depan.
Serikat
Petani Indonesia (SPI) Sumatra Selatan (Sumsel) menilai kondisi pertanian di
Indonesia berdasarkan hasil penelitian terhadap kebijakan pertanian 2008 hingga
2009 tidak banyak berubah. Demikian dikatakan Ketua SPI Sumsel J.J. Polong di
Palembang, Selasa (17/11).
Menurut Polong, arah pembangunan pertanian yang dituangkan pada program revitalisasi pertanian perikanan dan kehutanan (RPPK) hanya menghasilkan ketergantungan di sektor pertanian pangan. Dia mengatakan, janji pemerintah periode Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang selalu disampaikan mengenai pembaruan agraria tidak banyak memberi perubahan.
Polong mengatakan, semua itu dapat diraba. Pertama, jalan ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah tidak tepat atau salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan berupa sertifikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah.
Kemudian, RPPK tentang reformasi agraria sebagai jalan legal yang menerjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan.
Berikutnya, meningkatnya petani korban yang tergusur dan dikriminasi dalam konflik agraria, dimana penyelesaian konflik agraria tidak berjalan, dan terakhir terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria tidak jelas.
Menurut Polong, arah pembangunan pertanian yang dituangkan pada program revitalisasi pertanian perikanan dan kehutanan (RPPK) hanya menghasilkan ketergantungan di sektor pertanian pangan. Dia mengatakan, janji pemerintah periode Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang selalu disampaikan mengenai pembaruan agraria tidak banyak memberi perubahan.
Polong mengatakan, semua itu dapat diraba. Pertama, jalan ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah tidak tepat atau salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan berupa sertifikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah.
Kemudian, RPPK tentang reformasi agraria sebagai jalan legal yang menerjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan.
Berikutnya, meningkatnya petani korban yang tergusur dan dikriminasi dalam konflik agraria, dimana penyelesaian konflik agraria tidak berjalan, dan terakhir terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria tidak jelas.
Selanjutnya,
dia menyampaikan konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria
yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan.
Demikian
juga, ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertifikasi lahan bukan
dengan penyelesaian struktural, katanya. Mengenai pengadaan benih, menurut JJ
Polong, sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan
multinasional.
Dari
studi SPI, tercatat rata-rata 45,4 persen modal petani terutama komoditas padi
dihabiskan untuk membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk, dan
racun.
Pada
tahun 2009, petani masih tergantung pada benih impor, dukungan bagi
pengembangan benih pangan berbasis komunitas tidak dijadikan sebagai salah satu
cara memandirikan petani, kata dia pula.
Ia
menilai, program pemerintah untuk menjadikan pertanian berbasis organik
(Go-Organic 2010) hanya akan menjadi slogan saja, karena pencapaiannya tidak
ada.
Hal ini
tercermin dari anggaran disediakan hanya kurang dari 4 persen dari total
subsidi pupuk, 96 persen dialokasi bagi pupuk yang diproduksi industri kimia,
kata dia lagi.
Kemudian, kelembagaan
distribusi pupuk bersubsidi masih dipertahankan dengan model pengusaha sebagai
ujung tombak, dimana keterlibatan organisasi massa dari petani dan kelembagaan
pemerintah yang minim. (Ant/MI/ICH)
Baru saja Indonesia
memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Setiap kali memperingati Hari
Sumpah Pemuda ini, disegarkan dan diingatkan kembali peran pemuda yang
senantiasa strategis dalam pembangunan nusa dan bangsa sepanjang masa. Termasuk
pemuda di sektor pertanian.
Khusus untuk sektor pertanian ada kecenderungan pada tahun-tahun terakhir ini menurunnya minat pemuda memasuki pendidikan tinggi pertanian. Bahkan banyak sarjana pertanian yang tidak bekerja di sektor pertanian tapi justru di bidang non pertanian seperti media massa, bank dan sebagainya.
Khusus untuk sektor pertanian ada kecenderungan pada tahun-tahun terakhir ini menurunnya minat pemuda memasuki pendidikan tinggi pertanian. Bahkan banyak sarjana pertanian yang tidak bekerja di sektor pertanian tapi justru di bidang non pertanian seperti media massa, bank dan sebagainya.
Kabarnya kecenderungan ini
terjadi akibat dari pencitraan pertanian yang ”kusam”. Karena para petani
sering dicitrakan kumuh berpakaian hitam-hitam, bercaping dan memanggul
cangkul. Kumal. Pertanianpun digambarkan “tradisional”. Mengolah sawah dengan
bajak ditarik sapi. Hasil pertanian dijual sebagai bahan mentah. Jarang
digambarkan dalam pengolahan lahan seorang pemuda tani dengan gagah mengendarai
traktor, mengolah hasil pertaniannya sehingga memberikan nilai tambah.
Pertanian saat ini dianggap kurang menguntungkan untuk dijadikan mata
pencaharian.
Lalu apakah dibiarkan
begitu? Ingat, selama manusia masih membutuhkan pangan, sandang dan papan maka
pertanian masih tetap prospektif sepanjang masa. Petani Indonesia sekarang ini
kebanyakan sudah memasuki usia lanjut usia (Lansia). Memerlukan regenerasi.
Namun sudah tentu generasi muda tidak boleh dipaksakan menjadi petani. Harus
ada upaya-upaya agar dengan sendirinya generasi muda memilih petani sebagai
sumber kehidupannya. Antara lain dengan:
Pertama, perlu dilakukan sebuah gerakan media pencitraan yang masif untuk meningkatkan minat di bidang pertanian.
Pertama, perlu dilakukan sebuah gerakan media pencitraan yang masif untuk meningkatkan minat di bidang pertanian.
Kedua, adanya peluang
jaminan sosial ekonomi dan masa depan bila bekerja di sektor pertanian. Peluang
ini dapat diraih apabila pemuda mempersiapkan diri berkemampuan mengolah
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara inovatif dan kreatif dengan
sentuhan teknologi tepat guna. Sehingga memberikan peningkatan produktivitas
ditambah pengolahan yang memberikan nilai tambah. Maka pendapatanpun meningkat.
Ketiga, Dunia Perguruan
Tinggi Pertanian sebagai sumber petani-muda yang terdidik perlu membekali
melalui kurikulumnya meningkatkan minat profesi mahasiswa dengan membangun
semangat juang yang meningkatkan kecintaan terhadap produk nasional, terutama
produk pertanian. Menumbuhkan jiwa kepedulian terhadap pertanian dan program
pengembangan kewirausahaan pertanian. Pengembangan kreativitas, terutama ilmu
pertanian dan aplikasinya. Harus ditumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap ilmu
yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar