Minggu, 09 Juni 2013

Strategi Baru Pembangunan Pertanian

Eskalasi harga pangan dan pertanian sampai tiga kali lipat selama tiga tahun terakhir memang meresahkan, tidak terkecuali bagi Indonesia. Tiga faktor utama berikut sering dianggap bertanggung jawab, yakni (1) fenomena perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi pangan strategis, (2) peningkatan permintaan komoditas pangan karena konversi terhadap biofuel, dan (3) aksi para investor (spekulan) tingkat global karena kondisi pasar keuangan yang tidak menentu.

Meski begitu, eskalasi harga tersebut juga menjadi peluang (dan tantangan) baru untuk merumuskan strategi pembangunan pertanian yang kompatibel dengan perubahan zaman

Pembangunan pertanian di Indonesia sebenarnya telah menunjukkan kontribusi yang sukar terbantahkan, bahwa peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui varietas unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan dalam empat dasawarsa terakhir. Pembangunan perkebunan dan agroindustri juga telah mampu mengantarkan pada kemajuan ekonomi bangsa, perbaikan kinerja ekspor, dan penyerapan tenaga kerja.

Singkatnya, kinerja perjalanan pertanian Indonesia jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan angka 3,51 persen per tahun rata-rata pertumbuhan pada periode 1960-2006—dihitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).

Pada tahap awal atau fase konsolidasi 1967-1978 sektor pertanian hanya tumbuh 3,38 persen, kemudian melonjak sangat tinggi dan mencapai 5,72 persen pada periode 1978-1986, kemudian kembali melambat 3,39 persen pada fase dekonstruksi 1986-1997 dan terus melambat 1,57 persen sampai periode krisis ekonomi.

Pada masa krisis ekonomi itu, performa baik yang dicapai subsektor perkebunan dan peternakan hampir tidak membawa dampak berarti karena daya beli yang terus menurun. Pada era reformasi (2001-2006), pertanian Indonesia telah tumbuh 3,45 persen per tahun, dan belum dapat dikatakan telah menuju ke arah yang benar (selengkapnya lihat Arifin, 2007).

Tiga prinsip penting Selama empat dasawarsa terakhir, strategi pembangunan pertanian mengikuti tiga prinsip penting: (1) broad-based dan terintegrasi dengan ekonomi makro, (2) pemerataan dan pemberantasan kemiskinan, dan (3) pelestarian lingkungan hidup. Dua prinsip utama telah menunjukkan kinerja yang baik, seperti diuraikan di atas, karena dukungan jaringan irigasi, jalan-jembatan, perubahan teknologi, kebijakan ekonomi makro, dan sebagainya.

Konsep revitalisasi pertanian yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pola pikir dan strategi besar di atas. Karena fenomena Revolusi Hijau serta perspektif konsistensi tersebut, pencapaian swasembada beras di era 1980-an juga telah diikuti oleh peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan petani beras di Indonesia, pemerataan sektor pedesaan dan perkotaan.

Pada waktu itu sentra produksi beras di Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain juga identik dengan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan.

Prinsip ketiga tentang pelestarian lingkungan hidup memang belum banyak menunjukkan hasil karena baru dikembangkan secara serius pasca-KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992.

Singkatnya, pembangunan pertanian harus mampu membawa misi pemerataan apabila ingin berkontribusi pada pemberantasan kemiskinan serta menjamin tingkat keberlanjutan pembangunan itu sendiri.

Strategi baru

Berikut ini adalah strategi baru yang coba ditawarkan sehubungan dengan determinan pola baru pembangunan pertanian di masa mendatang. Strategi yang telah terbukti dan teruji selama ini tidak harus ditinggalkan, hanya perlu dilengkapi dengan beberapa dimensi berikut:

Pertama, pembangunan pertanian wajib mengedepankan riset dan pengembangan (R&D), terutama yang mampu menjawab tantangan adaptasi perubahan iklim. Misalnya, para peneliti ditantang untuk menghasilkan varietas padi yang mampu bersemi di pagi hari, ketika temperatur udara tidak terlalu panas. Kisah padi gogo-rancah pada era 1980-an yang mampu beradaptasi dan tumbuh di lahan kering dan tadah hujan, kini perlu disempurnakan untuk menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari sekadar 2,5 ton per hektar. Bahwa pertanian Indonesia tidak harus bertumpu hanya pada lahan di Jawa tampaknya telah disepakati, hanya perlu diwujudkan secara sistematis. Misalnya, varietas yang baru perlu diuji multilokasi dan uji adaptasi di sejumlah daerah kering dengan memberdayakan jaringan universitas daerah dan Balai Pengembangan Teknologi Pertanian yang tersebar di daerah.

Kedua, integrasi pembangunan ketahanan pangan dengan strategi pengembangan energi, termasuk energi alternatif. Strategi ini memang baru berada pada tingkat sangat awal sehingga Indonesia tidak boleh salah melangkah. Indonesia memang terlambat sekali dalam menyandingkan ketahanan pangan dengan energi alternatif. Maksudnya, Indonesia butuh sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebijakan pada tingkat Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang Bahan Bakar Nabati dan Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang Diversifikasi Energi.

Ketiga, pembangunan pertanian perlu secara inheren melindungi petani produsen (dan konsumen). Komoditas pangan dan pertanian mengandung risiko usaha seperti faktor musim, jeda waktu (time-lag), perbedaan produktivitas dan kualitas produk yang cukup mencolok. Mekanisme lindung nilai (hedging), asuransi tanaman, pasar lelang dan resi gudang adalah sedikit saja dari contoh instrumen penting yang mampu mengurangi risiko usaha dan ketidakpastian pasar. Operasionalisasi dari strategi ini, perumus dan administrator kebijakan di tingkat daerah wajib mampu mewujudkannya menjadi suatu langkah aksi yang memberi pencerahan kepada petani, memberdayakan masyarakat, dan memperkuat organisasi kemasyarakatan untuk mampu berperan dalam pasar berjangka komoditas yang lebih menantang. Di sinilah pertanian tangguh dan berdaya saing akan dapat terwujud.

Sektor Pertanian Diminta Keluar Dari


Sebab, sektor pertanian adalah sektor paling utama untuk negara agraris seperti Indonesia
Pemerintah Indonesia didesak untuk mengeluarkan sektor pertanian dari putaran Doha saat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO).

Menurut Sekretaris Jendral Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (Agra) Erpan Faryadi, pemerintah Indonesia dan negara berkembang lainnya harus mampu melepaskan sektor pertanian dari perundingan WTO. Pasalnya, sektor pertanian merupakan sektor paling utama untuk negara agraris seperti Indonesia.
"Kalau ini masuk terlalu besar pertaruhan untuk kepentingan negara, kita harus selalu mendesak pemerintah Indonesia agar sektor pertanian dikeluarkan dari perundingan WTO," kata Erpan saat konferensi pers tentang WTO di Jakarta, Selasa, 24 November 2009.
Erpan memandang, perjanjian tentang sektor pertanian sangat merugikan bagi mayoritas petani negara-negara berkembang, terutama dalam soal tarif, serta pemberian subsidi untuk para petani.

Dengan tidak adanya dua fasilitas tersebut, hasil industri pertanian negara berkembang akan sangat sulit untuk bersaing dengan negara maju.
Selain sektor pertanian, sektor lain yang juga penting adalah industri dan jasa. Namun, secara skala prioritas, sektor pertanian jauh lebih penting ketimbang dua sektor tersebut mengingat 48 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidup dari pertanian.
Lebih lanjut, Erpan menilai krisis keuangan saat ini yang terjadi merupakan momentum yang tepat bagi negara berkembang untuk menghentikan putaran Doha.
Sementara itu, peneliti senior Instituted of Global Justice (IGJ) Bonnie Setiawan menilai saat ini, WTO sudah keluar dari tujuan awalnya yaitu sebagai organisasi yang mengatur perdagangan bebas dengan menghilangkan dan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif dan non tarif.
"Kita harapkan WTO hanya mengurusi mengenai perdagangan barang saja tidak mengenai hal lain seperti pertanian dan HaKI (hak atas kekayaan intelektual)," ujarnya.
Bonnie memandang, selama ini WTO telah jauh melangkah dengan mulai mengurusi berbagai kebijakan yang jauh dari kekuasaannya dan keluar dari tujuan awal. Selain itu, WTO sangat memiliki ketidak adilan karena lebih memihak kepada negara maju.
"WTO bukan hanya rezim yang membuka pasar, namun juga merupakan rezim yang membuka investasi. Investasi merupakan masuknya intensitas asing ke negara lemah. Salah satu kebijakan WTO yaitu HAKI yang meneriakkan hak paten hanya mampu digunakan oleh industri dan negara kuat, yang tidak mungkin dimiliki negara lemah atau usaha kecil karena biaya yang cukup tinggi, ini kebijakan yang tidak adil," ujarnya.
Selain itu, Putaran Doha yang juga direncanakan dapat selesai pada 2010 ini sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia. Sebab, Putaran Doha membahas dua hal yang sangat urgen yaitu penghapusan subsidi dan pembukaan pasar.
"Kita berharap Indonesia mampu membuat WTO banting stir untuk membeli negara berkembang, dengan kekuasaan saat ini sebagai wakil pemimpin sidang dalam pertemuan KTM WTO mendatang," katanya.
Di tempat terpisah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengaku untuk mengeluarkan sektor pertanian dari putaran Doha sangat tidak mungkin. "Dalam negoisasi tidak mungkin satu sektor dikeluarkan, kita harus catat untung ruginya," tuturnya.

Dengan semakin tingginya kesadaran akan pentingnya produk pertanian organik membuat pasarnya kian terbuka. Hanya, sampai saat ini para petani belum bisa memenuhi kebutuhan pasar pertanian organik tersebut.

"Pasar pertanian organik akan menjadi tren saat ini dan di masa mendatang. Dari segi harga terdapat perbedaan yang amat jauh antara hasil pertanian organik dengan pertanian yang masih memakai bahan kimiawi," kata Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan (Distanhutbun) Kab. Bandung, Ir. H. Tisna Umaran. Di ruang kerjanya, Selasa (17/11).

Lebih jauh Tisna mengatakan, beras organik di pasaran harganya di pasaran mencapai Rp 11.000/kg. "Sedangkan beras biasa yang penanamannya masih memakai bahan kimiawi hanya Rp 5.500 sampai Rp 6.000 per kg," katanya.

Demikian pula dengan kebutuhan pasar belum bisa dipenuhi para petani pertanian organik. "Pertanian organik yang menerapkan sistem intensifikasi sekitar 250 hektar dengan rata-rata produksi antara 8,5 ton sampai 9 ton. Dalam setahun produksi beras organik Kab. Bandung sekitar 250 ton," katanya.

Sedangkan kebutuhan pasar di atas produksi atau terdapat sekitar 500 Kg/bulan yang belum bisa dipenuhi petani. "Jadi dalam setahun sekitar 6 ton pasar padi organik bisa dipenuhi," katanya.
Hanya, hasil pertanian organik, kata Tisna, harus memenuhi persyaratan cukup ketat. "Misalnya standard nasional yang ditetapkan Sucofindo. Rencananya pada Rabu besok (hari ini, red) akan ada panen raya padi organik di Blok Panyaungan, Kec. Cangkuang, seluas 40 hektare," katanya.(A-71/A-50)***

Bulan September 2009 adalah bulan yang mungkin tidak bisa dilupakan oleh jutaan petani gurem di negeri ini. Di bulan itu, petani gurem yang hanya memiliki lahan kuran dari 0,5 hektar pantas resah. Pasalnya, pada bulan itu DPR mengesahkan Undang Undang (UU) Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB).

Sebelumnya jutaan petani gurem di Indonesia tentu berharap UU PLPPB itu dapat mengentaskan mereka dari sepiral kemiskinan yang selama ini menyesakan kehidupannya. Sepiral kemiskinan itu adalah akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan. Namun harapan petani gurem itu ternyata bertepuk sebelah tangan.

UU PLPBB justru semakin meminggirkan petani gurem secara legal. Kini, nasib petani gurem laksana di ujung tanduk. Bagaimana tidak melalui UU PLPPB itu pemerintah mengijinkan masuknya korporasi besar ke sektor pertanian pangan. Artinya, harapan petani gurem untuk memiliki akses terhadap lahan pertanian secara lebih layak semakin tipis.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Hilman Manan, keputusan untuk mengundang korporasi dalam pertanian pangan disebabkan oleh tren ke depan pengembangan pertanian pangan dalam skala besar oleh korporasi.

Dibukanya pintu bagi korporasi besar dalam pertanian pangan ini dipastikan akan segera diikuti dengan pembukaan lahan yang besar-besaran bagi korporasi yang bersangkutan. Sebelumnya roadmap investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mengusulkan pemberian insentif berupa akses lahan secara luas kepada para pemilik modal yang masuk ke sektor pertanian pangan. Ketentuan UU PLPPB jelas mengabaikan realitas kehidupan petani di Indonesia yang didominasi oleh petani gurem.

Lahan Petani Gurem Berkurang
Padahal dari tahun ke tahun akses petani gurem atas lahan pertanian semakin berkurang. Menurut Dosen Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani, Ph.D, jika pada tahun 1980-an kepemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25 hektar saja. Meningkatnya jumlah petani gurem diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS).
Data BPS menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun waktu tahun 1993 hingga 2003 meningkat rata – rata sebesar 2,6 persen per tahunnya. Di Pulau Jawa jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani.

Sebaliknya, penguasaan lahan yang sangat luas justru diperlihatkan oleh korporasi-korporasi besar. Di negeri ini, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta hektar lahan. Atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120 ribu hektar lahan. Bahkan pada tahun 1998, sebanyak 10 konglomerat di Indonesia telah menguasai lahan seluas 65 ribu hektar.

UU PLPPB jika diimplementasikan justru akan melestarikan ketimpangan kepemilikan lahan seperti tersebut di atas. Dengan dalih mengusahakan pertanian pangan, para pemilik modal akan segera menguasai lahan di negeri ini secara labih luas. Dampak sosial dari penguasaan lahan bagi pemilik modal terhadap lahan pertanian secara luas tersebut adalah semakin tertutupnya akses petani gurem atas lahan pertanian.

Sangat mungkin nantinya para petani gurem tersebut akan menjual lahan yang dimilikinya kepada para pemilik modal yang telah menguasai lahan secara lebih luas dan dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya para petani gurem tersebut akan beralih profesi menjadi sekedar buruh tani bagi para korporasi di sektor pertanian pangan tersebut.

Jutaan petani gurem yang ada di Jawa dan luar Jawa akan dibiarkan berkompetisi dengan korporasi-korporasi pertanian yang mampu menguasai lahan secara luas. Akhir dari kompetisi itu pun sudah dapat ditebak, yaitu dengan kemenangan telak korporasi-korporasi pertanian pangan.

Tunda UU PLPPB
Selain itu, ketentuan UU PLPPB dipastikan akan menambah jumlah konflik agraria di negeri ini. Hingga tahun 2006 saja telah terdapat 1753 kasus konflik agraria. Perebutan penguasaan atas lahan produktif berupa lahan perkebunan atau pertanian adalah salah satu konflik yang sering terjadi di negeri ini. Dalam konflik agraria tersebut petani bukan hanya melawan negara namun juga melawan korporasi-korporasi besar yang mendapat dukungan negara dalam menguasai lahan secara luas.

Sebagai pihak yang diberikan mandat untuk melindungi masyarakat, utamanya masyarakat yang rentan, negara sejatinya harus berpihak kepada petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Artinya, kebijakan negara seharusnya bukan membuka pintu bagi korporasi-korporasi besar untuk bergerak dibidang pertanian pangan dengan insentif penguasaan lahan secara luas.

Negara harusnya, meningkatkan produktifitas petani gurem dalam pertanian pangan. Peningkatan produktifitas petani gurem itu hanya dapat dilakukan bila ketimpangan kepemilikan lahan dapat diatasi. Akses lahan harus dibuka seluas-luasnya bagi petani gurem bukan bagi korporasi besar. Tanpa akses terhadap lahan yang memadai, segala upaya untuk memberdayakan petani gurem hanya sekedar jargon politik saja.

Terkait dengan hal itulah, ada baiknya bila ketentuan dari UU PLPPB ditunda pelaksanaanya hingga tercapai keseimbangan penguasaan lahan pertanian bagi petani gurem di negeri ini. Tanpa ada keadilan penguasaan lahan maka masuknya korporasi besar di dalam pertanian pangan tak lebih hanya sebuah mimpi buruk bagi jutaan petani gurem di Indonesia.

etika revolusi hijau (green revolution) dikenalkan awal 1970-an dan berkembang hingga terbukti ampuh dengan pencapaian swasembada beras nasional tahun 1984, penyuluhan pertanian banyak disebut sebagai salah satu kunci kisah sukses tersebut. Kini hampir seperempat abad setelah even tersebut, nampaknya menjadi momen yang penting untuk mengengok kembali eksistensi dan kondisi terkini atas penyuluhan pertanian.

Penyuluhan pertanian secara umum dipahami sebagai kegiatan menyebarluaskan informasi pertanian serta membimbing usahatani terhadap petani. Dinamika perjalanan penyuluhan pertanian bergerak sejalan dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi nasional. Ketika kebijakan nasional memberi prioritas yang tinggi pada pembangunan pertanian maka aktivitas penyuluhan berkembang dengan sangat dinamis, dan sebaliknya ketika prioritas pembangunan pertanian tidak menjadi agenda utama maka penyuluhan pertanian mengalami masa suram dan stagnasi.

Kejayaan Masa Lalu
Terlepas dari kontraversi dampak revolusi hijau terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan sumber daya, fakta sejarah telah mencatat masa kejayaan penyuluhan pertanian dalam mensukseskan program swasembada pangan. Berbagai dokumentasi badan internasional maupun nasional mencatat prestasi gemilang atas peran penting penyuluhan pertanian.

Sejak awal tahun 1970-an para petugas penyuluh dalam berbagai level dibawah program bimbingan missal (BIMAS) bahu membahu memberikan bimbingan teknis (know-how) kepada petani untuk mempraktekan budidaya padi terpadu yang dikenal dengan “panca usaha tani”. Dengan dukungan politik dan finansial yang baik, penyuluh dapat menjalankan fungsinya dengan lancar. Sistim penyuluhan latihan dan kunjungan (training and visit) yang diadopsi dari model Bank Dunia-FAO dapat dikembangkan dengan efektif.

Penyuluhan pertanian yang sistematis tersebut merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan menggenjot produkivitas padi. Sebelum introduksi revolusi hijau, produktivitas padi hanya berkisar pada 1-2 ton/ha. Pengunaan sarana produksi dan sistim budidaya padi modern telah mampu meningkatkan produktivitas padi menjadi 2-4 ton/ha.

Setelah pencapaian swasembada beras, prioritas pembangunan nasional nampaknya tidak lagi perpihak pada pertanian. Dalam dokumen kebijakan pembangunan, setelah tahapan prioritas pembangunan pertanian, dilanjutkan dengan pembangunan industri yang berbasis pertanian. Dalam prakteknya, hal itu tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Industri-industri yang dikembangkan tidak berkaitan sama sekali dengan pertanian. Sudah bisa diduga bahwa pembangunan pertanian mengalami stagnasi bahkan kemunduran yang luar biasa.

Terkait dengan penyuluhan pertanian, sistem kelembagaan dan sistem tata kerjanya juga mengalami perubahan dengan pola yang tidak jelas. Afiliasi kelembagaan serta tuntutan kompetensi penyuluh juga berubah dengan arah yang tidak berpola. Ketika masa revolusi hijau penyuluh di lapangan yang langsung bersentuhan dengan petani memiliki homebase di Balai Penyuluhan Pertanian/BPP yang ada di setiap kecamatan, namun sejak tahun 1990-an kelembagaan menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan.

Dalam hal kompetensi penyuluh, orientasi berubah-ubah dari tuntutan kompetensi tunggal misalnya tanaman pangan (monovalen) menjadi kompetensi plural (polivalen). Setelah beberapa waktu, tuntutan kompetensi juga dikembalikan lagi ke monovalen. Hal ini membingungkan penyuluh di lapangan. Implementasi UU Otonomi Daerah juga semakin membuat penyuluhan pertanian menjadi tidak pasti baik dalam afiliasi kelembagaan maupun personalianya. Meskipun salah satu hal ideal yang ingin dicapai dengan otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada khalayak sesuai dengan kondisi lokal, namun dalam prakteknya masih jauh dari harapan.

Bagi daerah dimana kepala daerah dan politisi lokalnya memiliki perhatian besar pada pembangunan pertanian maka pembangunan dan penyuluhan pertanian berkembang pesat. Namun sebaliknya, cukup banyak kepala daerah dan politisi lokal yang tidak memandang penting atas pembangunan pertanian, akibatnya kedudukan penyuluhan pertanian menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan

Revitalisasi Penyuluhan
Masa-masa suram pembangunan pertanian dan lebih khusus lagi penyuluhan pertanian telah berdampak pada stagnasi produksi pertanian. Hal ini juga telah medorong pemerintah pusat dan DPR untuk merancang perundangan penyuluhan pertanian. Melalui pembahasan panjang dan melelahkan, pada Oktober 2006 telah diundangkan UU No.16/2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Salah satu amanat UU tersebut adalah pembentukan kelembagaan penyuluhan di berbagai level administrasi pemerintahan, selain itu pemerintah daerah harus berkontribusi terhadap pendanaan kelembagaan dan operasionalisasinya.

Dalam prakteknya tidak mudah, interpretasi UU Otonomi Daerah yang memberi ruang besar bagi kepala daerah dan DPRD untuk mengatur kelembagaan daerah kadang-kadang mengabaikan dan tidak memberi ruang yang cukup atas amanat UU SP3K. Implementasi kebijakan penyuluhan yang lain adalah perekrutan petugas penyuluh bantu/kontrak yang ditagetkan mencapai 10.000 orang sampai dengan 2007. Langkah ini cukup membantu mengatasi persoalan kekurangan penyuluh lapangan di daerah akibat banyak petugas pensiun atau beralih lembaga dan profesi setelah otonomi daerah.

Dalam banyak kasus, kinerja penyuluh bantu juga diragukan karena dengan status kontrak sebagian digunakan sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan yang lebih permanen. Status tersebut mempengaruhi semangat dan kinerjanya di lapangan sehingga perlu ditinjau kembali.



Tantangan Masa Depan
Sejalan dengan perubahan global, dunia pertanian mengalami dinamika yang luar biasa. Model pendekatan lama dimana penyuluhan merupakan agen transfer teknologi dan informasi sudah tidak cukup. Tuntutan di lapangan semakin rumit sehingga jika penyuluhan pertanian sebagai penyedia public goods tidak bisa berperan dengan baik maka akan semakin ditinggalkan oleh penguna tradisionalnya. Pada saat ini penyuluh lapangan swasta yang juga merupakan pelayan teknis perusahaan sarana produksi nasional dan multinasional juga telah merambah ke desa-desa.

Daram era baru pertanian, penyuluh lapangan dituntut untuk memiliki fungsi paling tidak dalam tiga hal yaitu transfer teknologi (technology transfer), fasilitasi (facilitation) dan penasehat (advisory work). Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, penyuluh pertanian lapangan mestinya juga menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tema-tema penyuluhan juga bergeser tidak hanya sekedar peningkatan produksi namun menyesuaikan dengan isu global yang lain misalnya bagaimana menyiapkan petani dalam bertani untuk mengatasi persoalan perubahan iklim global dan perdagangan global. Petani perlu dikenalkan dengan sarana produksi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim, selain itu teknik bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan terhadap cekaman suhu tinggi nampaknya akan menjadi tema penting bagi penyuluhan pertanian masa depan.

Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatra Selatan (Sumsel) menilai kondisi pertanian di Indonesia berdasarkan hasil penelitian terhadap kebijakan pertanian 2008 hingga 2009 tidak banyak berubah. Demikian dikatakan Ketua SPI Sumsel J.J. Polong di Palembang, Selasa (17/11).

Menurut Polong, arah pembangunan pertanian yang dituangkan pada program revitalisasi pertanian perikanan dan kehutanan (RPPK) hanya menghasilkan ketergantungan di sektor pertanian pangan. Dia mengatakan, janji pemerintah periode Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang selalu disampaikan mengenai pembaruan agraria tidak banyak memberi perubahan.

Polong mengatakan, semua itu dapat diraba. Pertama, jalan ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah tidak tepat atau salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan berupa sertifikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah.

Kemudian, RPPK tentang reformasi agraria sebagai jalan legal yang menerjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan.

Berikutnya, meningkatnya petani korban yang tergusur dan dikriminasi dalam konflik agraria, dimana penyelesaian konflik agraria tidak berjalan, dan terakhir terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria tidak jelas.

Selanjutnya, dia menyampaikan konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan.
Demikian juga, ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertifikasi lahan bukan dengan penyelesaian struktural, katanya. Mengenai pengadaan benih, menurut JJ Polong, sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional.

Dari studi SPI, tercatat rata-rata 45,4 persen modal petani terutama komoditas padi dihabiskan untuk membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk, dan racun.

Pada tahun 2009, petani masih tergantung pada benih impor, dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas tidak dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani, kata dia pula.

Ia menilai, program pemerintah untuk menjadikan pertanian berbasis organik (Go-Organic 2010) hanya akan menjadi slogan saja, karena pencapaiannya tidak ada.

Hal ini tercermin dari anggaran disediakan hanya kurang dari 4 persen dari total subsidi pupuk, 96 persen dialokasi bagi pupuk yang diproduksi industri kimia, kata dia lagi.

Kemudian, kelembagaan distribusi pupuk bersubsidi masih dipertahankan dengan model pengusaha sebagai ujung tombak, dimana keterlibatan organisasi massa dari petani dan kelembagaan pemerintah yang minim. (Ant/MI/ICH)

Baru saja Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Setiap kali memperingati Hari Sumpah Pemuda ini, disegarkan dan diingatkan kembali peran pemuda yang senantiasa strategis dalam pembangunan nusa dan bangsa sepanjang masa. Termasuk pemuda di sektor pertanian.

Khusus untuk sektor pertanian ada kecenderungan pada tahun-tahun terakhir ini menurunnya minat pemuda memasuki pendidikan tinggi pertanian. Bahkan banyak sarjana pertanian yang tidak bekerja di sektor pertanian tapi justru di bidang non pertanian seperti media massa, bank dan sebagainya.

Kabarnya kecenderungan ini terjadi akibat dari pencitraan pertanian yang ”kusam”. Karena para petani sering dicitrakan kumuh berpakaian hitam-hitam, bercaping dan memanggul cangkul. Kumal. Pertanianpun digambarkan “tradisional”. Mengolah sawah dengan bajak ditarik sapi. Hasil pertanian dijual sebagai bahan mentah. Jarang digambarkan dalam pengolahan lahan seorang pemuda tani dengan gagah mengendarai traktor, mengolah hasil pertaniannya sehingga memberikan nilai tambah. Pertanian saat ini dianggap kurang menguntungkan untuk dijadikan mata pencaharian.

Lalu apakah dibiarkan begitu? Ingat, selama manusia masih membutuhkan pangan, sandang dan papan maka pertanian masih tetap prospektif sepanjang masa. Petani Indonesia sekarang ini kebanyakan sudah memasuki usia lanjut usia (Lansia). Memerlukan regenerasi. Namun sudah tentu generasi muda tidak boleh dipaksakan menjadi petani. Harus ada upaya-upaya agar dengan sendirinya generasi muda memilih petani sebagai sumber kehidupannya. Antara lain dengan:

Pertama, perlu dilakukan sebuah gerakan media pencitraan yang masif untuk meningkatkan minat di bidang pertanian.

Kedua, adanya peluang jaminan sosial ekonomi dan masa depan bila bekerja di sektor pertanian. Peluang ini dapat diraih apabila pemuda mempersiapkan diri berkemampuan mengolah sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara inovatif dan kreatif dengan sentuhan teknologi tepat guna. Sehingga memberikan peningkatan produktivitas ditambah pengolahan yang memberikan nilai tambah. Maka pendapatanpun meningkat.

Ketiga, Dunia Perguruan Tinggi Pertanian sebagai sumber petani-muda yang terdidik perlu membekali melalui kurikulumnya meningkatkan minat profesi mahasiswa dengan membangun semangat juang yang meningkatkan kecintaan terhadap produk nasional, terutama produk pertanian. Menumbuhkan jiwa kepedulian terhadap pertanian dan program pengembangan kewirausahaan pertanian. Pengembangan kreativitas, terutama ilmu pertanian dan aplikasinya. Harus ditumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap ilmu yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar