Minggu, 09 Juni 2013

PERTANIAN, SUMBER EMISI KARBON TERBESAR DI DUNIA

Disadari atau tidak pertanian merupakan suatu bidang yang sangat kompleks. Nyatanya, masih banyak orang yang  menganggap pertanian itu sederhana. Salah besar. Pertanian menjadi suatu bidang yang sangat kompleks sebab terkait posisinya yang memiliki banyak sekali hubungan dengan aspek-aspek bidang yang lain. Sebut saja politik. Ekonomi. Sosial. Budaya. Hukum. Kesehatan. Energi. Dan masih banyak bidang yang lain. Sangat dekat dan saling terkait. Namun ada satu lagi aspek bidang yang kurang menjadi primadona untuk diperbincangkan memang, namun cukup kompleks permasalahannya terkait dengan pertanian. Bidang tersebut adalah lingkungan. Banyak kajian mengenai kedalaman hubungan keduanya namun banyak pula yang tidak perduli akan keberlanjutannya. Bahkan untuk sekaliber sarjana pertanian. Hal tersebut kurang populer dibandingkan dengan daya tarik aspek bidang  yang lain.


AGRICULTURE AND ENVIRONMENT
PERTANIAN MENJADI SALAH SATU SUMBER EMISI KARBON TERBESAR DI DUNIA
            Memang kegiatan pertanian terkesan ‘hijau’. Namun ternyata tidaklah sedangkal itu. Berdasarkan beberapa pengkajian, kegiatan pertanian menjadi salah satu sumber penghasil gas-gas rumah kaca seperti CO2 dan CH4 ( Metana ) terbesar didunia (prosentasenya ). Seperti diketahui kedua jenis gas ini merupakan faktor-faktor penyebab pemanasan global. Emisi karbon yang dihasilkan dari bidang pertanian ini meningkat  sejak pertengahan tahun 1800-an. Dan menjadi salah satu sumber utama penyumbang emisi karbon ketika masa-masa sebelum tahun 1920-an.  Sekarang memang penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi sumber penghasil terbesar emisi gas-gas rumah kaca. Menurut Elizabeth Rodriguez dalam jurnalnya yang berjudul ‘Negative Effects of Agriculture on Our Environment’ memaparkan bahwa  penyebab  kedua terbesar dari peningkatan jumlah emisi karbon adalah konversi lahan pertanian . Hal tersebut disebabkan akibat konversi lahan pertanian tersebut diikuti oleh tindakan-tindakan destruktif yang merusak lingkungan. Kegiatan pertanian tersebut bertanggung jawab atas 20% emisi karbon dunia.
            Yang menarik lagi disini kaitannya  dengan pertanian, lingkungan dan Indonesia adalah ketika salah satu komoditas perkebunan unggulan Indonesia Kelapa Sawit (Crude Palm) diklaim menjadi perusak lingkungan dan turut bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global ( sedikit banyak). Memang benar adanya. Semakin meningkatnya  kebutuhan dunia akan CPO semakin liar pula pembalakan hutan yang terjadi di Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan. Padahal seperti diketahui bahwa hutan di kedua pulau tersebut digadang-gadang sebagai paru-paru dunia. Dan ekspktasi dunia akan hal tersebut sangatlah besar.  Namun hal tersebut bukanlah isapan jempol semata. Hal tersebut dibuktikan dengan berkurangnya luas hutan di kedua pulau tersebut. Parahnya termasuk juga berkurangnya hutan primer. Hutan primer pada hakikatnya merupakan hutan yang benar-benar diproteksi dari ‘jamahan tangan’ manusia untuk menjalankan fungsi sebagai pelindung terjaganya kekayaan keanekaragamanhayati satwa maupun floranya.
            Kemudian yang perlu dikritisi dan menjadi pembelajaran bagi kita adalah terkait dengan ditandatanganinya Letter of Intent antara Pemerintah Republik  Indonesia dengan Pemerintah Norwegia Tentang Kerjasama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Kehutanan. Memang sudah berlalu. Kita tidak dapat mengubah apapun. Namun, sebagai mahasiswa kita harus terus belajar dan termasuk belajar dari pengalaman yang sudah berlalu. Jadi tidak ada salahnya menilik kembali perjanjian kesepakatan tersebut.
            Maksud dan tujuan LOI tersebat adalah melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+, melakukan kolaborasi dalam rangka mendukung pengembangan dan pelaksanaan Strategi REDD+ di Indonesia. REDD+ (Reducing Emission of Deforestation an Deforestation). Pelaksanaan LOI mencakup 3 fase. Fase pertama, melakukan penyusunan skema pembiayaan , pembentukan lembaga pembiayaan dan melakukan seleksi satu provinsi percontohan untuk penerapan REDD+ . Fase kedua difokoskan pada pengembangan kapasitas nasional, pengembangan dan pelaksanaan kebijakan termasuk reformasi dan penegakan hukum serta penetapan satu atau lebih provinsi sebagai proyek percontohan. Secara spesifik meliputi Penundaan selama 2 tahun semua konsesi baru yang berasal dari konversi lahan gambut dan hutan alam, membangun data base degradasi lahan, penegakan peraturan perundang-undangan terhadap ilegal logging dan perdagangan kayu yang terkait tindak kejahatan di bidang kehutanan, membentuk unit khusus untuk menangani kejahatan dibidang kehutanan, mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi konflik pertanahan dan pemberian kompensasi, implementasi startegi REDD+ berdasarkan Phase I dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, pelaksanaan sistem MRV di tingkat provinsi sesuai dengan IPCC Tier  2, melakukan langkah-langkah untuk mengatasi konflik pertanahan dan pemberian kompensasi, penetapan provinsi percontohan kedua, Implementasi startegi REDD+ berdasarkan Phase I dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Fase ketiga, Indonesia menerima kontribusi tahunan atas pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah diverifikasi berdasarkan metoda UNFCCC, Norwegia menyalurkan kontribusi pendanaan melalui lembaga pembiayaan.
Kemudian kompensasi yang diberikan kepada Norwegia terhadap kesepakatan tadi adalah Kontribusi dana sebesar USD 1 milyar, jumlah kontribusi tergantung pada pembentukan mekanisme skema pembiayaan dan tingkat pencapaian sebagaimana dimaksud dalam LoI, rincian persyaratan pemberian kontribusi pendanaan ditetapkan dalam perjanjian kontribusi yang berlaku antara Pemerintah Norwegia dan fund manager, kontribusi pendanaan tahunan yang diberikan akan tergantung pada persetujuan Parlemen Norwegia.
       Namun terkait hal tersebut banyak sekali perdebatan yang terjadi. Banyak kalangan menyangsikan ‘niat baik’ Norwegia tersebut. Apakah ada maksud lain dibelakang itu semua. Berkedok pro-lingkungan dan membatasi ruang gerak ‘lumbung ekonomi’ negri ini. Jadi, apakah Environment sector or economic sector? Perlu dipikirkan pula keterkaitannya dengan kemajuan Pertanian Indonesia.
PERTANIAN PEDULI SELOKAN
Selebaran hasil kajian Dema tentang “Pertanian menjadi Sumber Emisi Karbon di Dunia” tersebut dibagikan dalam kegiatan  Pertanian Peduli Selokan untuk memperingati Hari Bumi. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada 21April 2013 di sepanjang selokan Mataram sebagai bentuk kepedulian dan pengabdian seluruh mahasiswa Fakultas Pertanian UGM terhadap kebersihan lingkungan dan kelangsungan hidup di Bumi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar