Minggu, 09 Juni 2013

PETANI-PETANI YANG SUKSES


Berbekal pengalaman yang dimilikinya, Suripno nekat membangun kebun nanas di tengah perkebunan sawit. Dia pernah dibilang orang gila.   
Perjalanan menuju Desa Meskom dari Kota Bengkalis butuh waktu sekitar 1,5 jam. Lamanya waktu bukan cuma penghalang, karena sampai di Desa Meskom, Bengkalis, jalan tanah harus dilalui dari Jalan Selangat yang merupakan jalan utama di Desa Meskom.
Struktur tanah gambut yang lembek dan berlumpur kala musim hujan membuat perjalanan makin tak mudah. Lantas terbersit dalam pikiran, orang gila mana yang buat kebun nanas di tanah seperti ini.
Jauh dari pemukiman dan berada di tengah-tengah kebun sawit. Setelah melewati jalan setapak sekitar 5 KM, pemandangan unik pun terlihat. Sebuah areal kebun nanas terhampar di tengah himpitan kebun sawit.


Adalah Suripno, warga Dusun V Simpang Ayam Desa Meskom Kecamatan  Bengkalis yang sejak 2000 lalu membuka areal kebun nanas itu. Bersama teman-temannya dia juga mendirikan Kelompok Petani Rantau Bertuah yang kini mengelola kebun nanas di Desa Meskom.
“Dulu ini hutan belantara, lahan ini dulu lahan buangan, makanya tak ada yang mau ngolah, tahun 2000 saya datang kesini saya buka lahan sampai jadi seperti ini,” kata Suripno seraya mempersilahkan masuk ke gubuknya.
Suripno bercerita, awalnya keputusan dia membuat kebun nanas dicibir kerabatnya. Bahkan istrinya pun menentang karena dianggap kerja sia-sia. Maklum, lahan yang mau dibuat kebun nanas adalah hutan belantara yang tak ada satu orang pun mau mengolahnya dan dikepung areal perkebunan sawit PT Agro Sarimas.

“Orang-orang bilang saya gila, buka hutan cuma untuk makan babi sama beruk yang lapar. Saya pikir daripada tanah tu semak resam (tumbuh ilalang) lebih baik semak pemakan (buah yang tumbuh) karena saya cuma punya ilmu tanam nanas ya saya tanam saja nanas di tanah ini,” kenangnya.
Suripno memang tunak di nanas. Sejak 1984 dia sudah bekerja di sebuah perkebunan nanas di Malaysia. Tahun 1990 dia balik ke Riau tapi tetap bekerja sebagai petani nanas di Desa Kualu, kecamatan Tambang, Kampar. Kemudian ia memutuskan pulang ke Desa Meskom, Bengkalis tahun 2000.   
Meski orang-orang mencibirnya, Suripno tetap teguh. Dia kerja keras dari pagi sampai sore hari membuka lahan. Pepohonan dan semak belukar pun diterabasnya. Setelah lahan bersih, dia tanam bibit nanas yang dibeli dari Wonosari Barat, Bengkalis dengan uang Rp 7 juta yang juga untuk beli pupuk.
Setelah 3 tahun, kebun seluas 2 hektar itu pun menampakkan hasil. Kini dari kebun nanasnya itu Suripno mampu memanen rata-rata 6 ribu buah perbulannya. Bahkan tahun lalu Suripno pernah panen hingga 46 ribu buah nanas mulai bulan 6 sampai bulan 11.
Harga nanas dia patok Rp 2 ribu perbuah, tergantung ukurannya. Alhasil pendapatan Suripno bisa mencapai Rp 12 juta sebulan, atau sekitar Rp 6-8 juta jika sudah dikeluarkan biaya pupuk dan upah pekerja.
Berkat kebun nanasnya, Suripno kini berjasa kepada penduduk sekitar karena mampu membuka lapangan kerja. Total ada 9 pekerja yang menggantungkan hidup dari kebun nanas Suripno. Meski sudah erhitung sukses. “Sekarang kalau ada yang tanya kok bisa berhasil, saya jawab kalau gak gila saya gak akan berhasil,” ucap bapak 3 anak ini seraya tertawa.
Meski sudah terhitung sukses, Suripno tak pelit berbagi ilmu dengan para koleganya. Dia juga rela membuat akses jalan sendiri ke kebunnya meski harus habiskan uang Rp 4 juta dari koceknya sendiri.
“Saya buka jalan sendiri sekitar 1 KM pakai papan untuk keluarkan nanas saya ke Jalan Selangat. Saya gak mau dibilang masayarakat dapat duit dari kebun tapi biarkan jalan rusak saya mau masyarakat juga nikmati hasil kebun nenas saya ini, siapa saja boleh lewat jalan saya ini yang terbuat dari papan.

Soal pemasaran nanasnya, Suripno tak ambil pusing. Jauh hari sebelum dipanen sudah banyak para pedagang pasar di Bengkalis, bahkan dari Batam juga Malaysia memesan nanasnya.
Pernah permintaan 4 ribu nanas dalam seminggu dengan sistem kontrak ditolaknya karena khawatir taksanggup memenuhinya.
Kini, untuk makin membesarkan areal kebunnya, Suripno mengajak masyarakat sekitar bergabung dengan membentuk Kelompok Petani Rantau Bertuah.
Kisah sukses Suripno mengelola kebun nanas membuat orang—orang berduit datang menawarinya untuk bekerja sama.
“Memang banyak donatur yang mau biayai, tapi saya tak mau terikat.Saya tak mau waktu orang kampung sini butuh nanas saya tak bisa kasih. Pernah saya ditawari kelola kebun sama toke tapi saya tak mau karena saya mau mengabdikan ilmu saya sama adik-adik di kampung ini, biarlah saya hidup sederhana disini asalkan ilmu saya bisa diturunkan untuk orang disini,” tuturnya.
Kepada Pemerintah dia berpesan agar petani seperti dirinya, diberikan pembinaan untuk mengelola usaha. Baginya, bantuan pembinaan manajemen usaha sangat dibutuhkan supaya petani lokal bisa menembus pasar global.
“Memang saya pernah dibantu Pemda Bengkalis berupa pupuk sebanyak 6 ton, saya ucapkan terima kasih banyak. Tapi itu saja tidak cukup untuk membesarkan petani. Kalau mau besar, petani harus dibina, diarahkan karena petani seperti saya ini kan tahunya ada orang beli ya saya jual.” (*)



KISAH SUKSES PETANI PADI
NAMA  :MUHAMMAD RIZKIAWAN RIANTO
KELAS    :3KA17
NPM      :14110810

Ketertarikan Suroto, warga Desa Sumberngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur menekuni padi organik bermula pada 1999, saat harga pupuk (kimia) melambung tinggi dan tidak terjangkau petani kecil. Dari situ kesadaran Suroto bangkit untuk mencoba mengembangkan pertanian organik tanpa butuh pupuk kimia.

"Saya berpikir bahwa orang zaman dulu dalam bertani tanpa menggunakan pupuk kimia dan panennya padi melimpah. Buktinya beras pada zaman Kerajaan Majapahit menjadi komoditas penting hingga dikirim ke luar Jawa," ujarnya.


Semangat kembali ke alam itu lantas ditindaklanjuti Suroto dengan menggali informasi dari sesepuh desa tentang kearifan lokal dalam mengolah lahan. "Sawah itu sudah membawa pupuk sendiri. Contohnya damen (jerami) harus dikembalikan ke sawah," ujar Suroto menirukan saran dari sesepuh desa.

Petuah selanjutnya, pemilik sawah harus memiliki rojo koyo (hewan ternak berupa sapi, kerbau atau kambing). Sebab kotoran rojo koyo tersebut bisa dimanfaatkan untuk pupuk organik.

Penjelasan sesepuh desa tersebut dijadikan Suroto sebagai bahan masukan yang sangat berharga. Tidak cukup dari situ, Suroto mencari informasi tambahan dengan mengikuti berbagai kepelatihan pengelolaan lahan ramah lingkungan yang diselenggarakan lembaga swasta maupun Pemerintah Kabupaten Malang.

Setelah semua informasi dipadukan, ia mengajak empat rekannya, yakni Sutarji, Buang, Supi'i, dan Mistono untuk memulai pertanian organik di sawah masing-masing. Pertanian organik akhirnya diterapkan lima petani yang memiliki lahan di lereng bukit atau kawasan paling atas di desa itu seluas 5 ha.

Mengawali sesuatu yang tidak lazim memang tidaklah mudah. Panen padi pertama kali yang dilakukan Suroto dan kelompoknya lewat metode pertanian organik hasilnya masih jeblok.

Sawah seluas 1,7 ha miliknya hanya menghasilkan 2,4 ton gabah. Padahal hasil panen sawah yang digarap dengan metode nonorganik bisa mencapai 7-9 ton.

Saat melihat kenyataan itu, Suroto tidak lantas putus asa. Musim tanam selanjutnya dia tetap menerapkan metode organik. Dan hasil panen yang kurang optimal itu dia sempat rasakan sampai tujuh kali musim tanam pada 1999-2003.

"Awalnya saya gagal. Banyak warga mencibir dan mencemooh. Mereka mengatakan bahwa saya petani bandel karena mengolah sawah tidak mau keluar modal," kenangnya.
Cibiran dan cemoohan tersebut tidak lantas membuat Suroto minder. Ia terus belajar untuk menimba teknik pertanian tradisional.

Selain ingin membuktikan kepada teman seprofesinya bahwa metode organik lebih berwawasan lingkungan dan hasilnya lebih bagus daripada nonorganik, Suroto punya tujuan agar petani di desanya bisa melepaskan diri dari belenggu ketergantungan pupuk kimia.

Hingga akhirnya memasuki 2003, sawah yang digarap Suroto sukses menghasilkan 9 ton gabah. Suroto semakin optimistis bahwa pertanian ramah lingkungan sangat efektif sekaligus menguntungkan.

Pasalnya hasil panen padi organik setelah dijual dalam bentuk beras langsung terserap pasar. Selain itu, karena pamor beras organik yang semakin tinggi, harganya di pasaran jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan padi nonorganik.

Ia mengisahkan, pada 2003 harga beras organik Rp3.600 per kg. Terus mengalami kenaikan harga sejak mahasiswa dan dosen Universitas Brawijaya, Malang, datang ke Desa Sumberngepoh untuk praktik kerja lapangan. Waktu itu, beras organik hasil panen Suroto terserap dengan harga Rp3.800 per kg. "Para dosen di Unibraw sekarang menjadi pelanggan tetap beras organik," ujarnya. Bahkan saat ini harga beras organik di pasaran bisa mencapai lebih Rp11 ribu per kg.

Keberhasilan Suroto mengembangkan padi organik itu pada akhirnya mendapat perhatian petani lainnya yang sebelumnya bersikap mencemooh. Hal tersebut dimanfaatkan Suroto untuk melakukan sosialisasi lewat pertemuan-pertemuan arisan antarpetani.

"Dari sinilah petani di Desa Sumberngepoh mulai tertarik dan yang mengembangkan pertanian organik bertambah dari lima orang menjadi 10 orang dengan total lahan seluas 11 ha. Jumlah petani organik di desa kami terus bertambah," ujarnya.

Manfaat lain, pertanian organik yang dirintis Suroto tersebut juga mengundang perhatian berbagai pihak. Bahkan sudah ada mahasiswa asal Jerman yang melakukan penelitian di Desa Sumberngepoh.

Kini desa yang dulunya tidak dikenal orang mulai dikenal berbagai kalangan dari daerah lain hingga mancanegara. Petani di Desa Sumberngepoh pun merasakan manfaatnya. Paling tidak padi organik produksi mereka dengan cepat terserap pasar dengan harga yang bagus. Dengan mengembangkan padi organik tersebut, para petani di desa tersebut juga mengakui bahwa pendapatan mereka meningkat dan tidak pusing memikirkan harga pupuk kimia yang harganya tidak menentu dan terlalu mahal. (*/mediaindonesia.com)

sumber :http://www.ciputraentrepreneurship.com/agrobisnis/14479-kisah-sukses-suroto-kembangkan-padi-organik.html

Analisa :Tidak semua petani seberuntung pak suroto yang berhasil dengan pupuk organik buatannya,beliau sukses dengan pertaniannya yang sekarang mencapai 11hektar.kisah sukses pak soroto harusnya bisa menjadi acuan untuk petani lain ,banyak petani indonesia yang masih belum makmur dikarenakan orang-orang atas yang selalu mengakali petani yang kurang berpendidikan.contohnya mereka butuh beberapa bulan untuk panen ,belum resiko kalau terjadi banjir dan akhirnya gagal panen tapi mereka hanya untung sedikit dari penjualan beras ke makelar sedangkan makelar yang hanya tinggal packing dan menjual kepasaran mengambil untung yang sangat besar.inilah salah satu faktor kenapa petani indonesia sampai sekarang belum makmur.
 

2 komentar:

  1. Terimakasih sudah memberikan artikel yang menarik tentang nenas, saya sangat ingin mendapatkan nenas riau atau lebih dekat ke daerah saya dari duri atau dumai, karena saya tinggal di medan....butuh 1500 sampai 2000 buah bisa 2 kali seminggu, mohon bantuan informàsi dimana dan alamat atau no hp yang bisa dihubungi,

    Terimakasih,

    Sarah Dinda

    BalasHapus
  2. No hp saya 081362300982, pin bb 51e84f8f

    Terimakasih

    BalasHapus