Minggu, 09 Juni 2013

PEMANFAATAN BIOLOGI DALAM BIDANG PERTANIAN


Dahulu para petani hanya mengetahui cara-cara bertani yang sederhana/tradisional, yakni hanya dengan mencangkul tanah kemudian menanaminya dengan tanaman yang diinginkan lalu disirami secukupnya. Dan hasil yang didapat ternyata tidak terlalu menggembirakan baik mutu maupun jumlahnya. Jika hal ini tidak segera diperbaiki maka kebutuhan masyarakat akan pangan tidak dapat tercukupi, dan akan terjadi kekurangan bahan pangan (rawan pangan). Apalagi pada masa sekarang ini, dimana telah terjadi ledakan jumlah penduduk, tentunya masalah rawan pangan merupakan masalah yang harus segera ditangani.Usaha yang harus dilakukan tidak hanya pada bagaimana membatasi pertambahan jumlah penduduk, tetapi juga harus dipikirkan bagaimana caranya meningkatkan produksi pangan.

Berkat kemajuan cabang-cabang Biologi dan teknologinya, sudah banyak orang mengetahui bagaimana cara meningkatkan hasil pertaniannya. Masyarakat khususnya para petani, kini telah banyak mengetahui bagaimana cara memilih bibit tanaman unggul, bagaimana cara memilih pupuk yang diperlukan berikut cara memupuknya, serta bagaimana cara memberantas hama dengan pestisida atau insektisida, dengan maksud meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panennya. Mereka pun telah banyak mengetahui teknik-teknik berkebun seperti mencangkok, menempel, mengenten dan sebagainya.

Untuk mendapatkan bibit unggul dari berbagai jenis tanaman sekarang tidaklah sulit. Hampir di seluruh pelosok tanah air, bibit unggul berbagai jenis tanaman bukan merupakan barang langka lagi. Hal ini berkat makin berkembangnya prinsip-prinsip Genetika yang sudah banyak diketahui oleh para petani, seperti dengan melakukan penyilangan (bastar), yang dapat dilakukan sendiri oleh mereka. Selain itu, dengan menerapkan prinsip-prinsip Fisiologi Tumbuhan, para petani melalui para ahli pertanian yang telah banyak mengetahui jenis pupuk yang baik untuk berbagai jenis tanaman.

Adapun dalam penggunaan pupuk, pestisida atau insektisida pada persawahan, perkebunan atau perladangan ini, para petani harus memperhatikan faktor keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Misalnya dengan mengikuti/mematuhi dosis (takaran) serta intensitas yang ditetapkan oleh setiap jenis pupuk atau pestisidanya. Jika pemakaian zat-zat kimia tersebut melebihi aturan yang ditetapkan biasanya akan menimbulkan pencemaran air sungai di sekitar areal pertanian tersebut.


Contoh kasus yang sering terjadi akibat pemakaian zat kimia yang tidak memperhatikan faktor keseimbangan ekosistem adalah pada pemakaian pupuk N yang intensif. Pemakaian pupuk N secara terus menerus dapat menyebabkan kadar nitrat dalam air sungai di areal penanaman menjadi tinggi. Akibat yang terjadi kemudian adalah timbulnya penyakit methemoglobinemia jika air sungai tersebut dikonsumsi oleh manusia. Selain timbulnya penyakit itu, dapat terjadi pula eutrofikasi. Apakah methemoglobinemia itu, dan apa yang dimaksud dengan eutrofikasi?
Methemoglobinemia merupakan ketidakmampuan hemoglobin di dalam sel-sel darah merah untuk mengikat oksigen, karena hemoglobin diikat oleh nitrit. Nitrit ini dihasilkan dari pengubahan nitrat yang mengkontaminasi air minum oleh mikroorganisme pada saluran pencernaan manusia. Dan tahukah Anda apa akibatnya jika tubuh kita kekurangan oksigen? Sedangkan eutrofikasi adalah pengeruhan air yang disebabkan oleh berkembang dengan pesatnya alga dan eceng gondok pada perairan yang tercemar nitrat. Eutrofikasi ini menyebabkan organisme seperti ikan-ikan di perairan tersebut menjadi mati. (perhatikan gambar 21). Maka dari itulah, pengetahuan mengenai Ekologi serta teknik bertani sangat diperlukan agar tidak terjadi hal-hal yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat sekitar atau para petani sendiri. Menurut Anda bagaimanakah mencegah pencemaran perairan oleh pupuk nitrat? Ya betul, diantaranya dengan mengadakan pergiliran penanaman jenis tanaman atau rotasi tanaman, sehingga pupuk yang digunakan juga berganti-ganti.

Gambar 21. Eutrofikasi oleh eceng gondok.

Masalah penyakit-penyakit yang menyerang tanaman, kini juga sudah banyak diketahui penyebabnya. Sudah banyak jenis virus, bakteri dan parasit lain yang menyerang tanaman budi daya yang berhasil diidentifikasi dan ditemukan cara pemberantasannya. Hal ini tentu berkaitan dengan kemajuan di bidang cabang-cabang Biologi seperti virologi, mikrobiologi dan parasitologi. Jadi, cabang-cabang Biologi yang berhubungan dengan bidang pertanian adalah botani, anatomi tumbuhan, fisiologi tumbuhan, virologi tumbuhan, parasitologi, mikrobiologi, genetika dan ekologi.

Perkembangan bioteknologi seperti teknik Rekayasa Genetika, Kultur Jaringan, dan teknik Mutasi Buatan pun kini sudah berhasil membantu mengatasi masalah rawan pangan. Coba Anda perhatikan uraian berikut ini, mengenai contoh-contoh sumbangan pengetahuan yang telah diberikan oleh Biologi beserta cabang-cabang ilmunya dalam dunia pertanian:

a.  Bioteknologi dan Biologi Molekuler telah berhasil menemukan teknik-teknik untuk Rekayasa Genetika, seperti teknik transfer nukleus, teknik pemotongan, penyambungan dan penyisipan gen, dimana teknik-teknik ini bertujuan untuk mencari atau menciptakan jenis tanaman dengan sifat unggul tertentu (tanaman transgenik). Teknik-teknik rekayasa genetika seperti ini biasanya dilanjutkan dengan suatu teknik yang disebut Kloning. Istilah Klon merupakan garis turunan individu-individu yang secara genetik identik. Klon juga diartikan sebagai usaha membuat satu atau lebih replika (duplikat) suatu individu, sel, ataupun gen. Pengaplikasian yang sudah berhasil dilakukan adalah pada terciptanya tanaman budi daya yang mampu menghasilkan insektisida sendiri, sehingga tanaman tersebut tidak perlu disemprot insektisida lagi saat di lahan pertanian nantinya. Contoh jenis tanaman pangan yang telah berhasil di rekayasa dengan tiujuan tersebut adalah tanaman buah apel, pir, kol/kubis, brokoli, dan kentang. Teknik rekayasa genetika ini juga sudah berhasil menciptakan tanaman budi daya yang mampu mengikat nitrogen bebas sendiri dari udara, sehingga tanaman tersebut tidak perlu diberi pupuk nitrogen sintetik lagi saat di lahan pertanian nantinya. Contoh jenis tanaman yang sudah berhasil direkayasa untuk tujuan tersebut adalah pada padi dan gandum.

b. Melalui kemajuan di bidang Biologi Molekuler, telah dapat diketahui pula urutan gen pada genom sel-sel tumbuhan, sehingga para biologiwan dapat mengidentifikasi urutan-urutan gen tertentu yang bertanggungjawab untuk perkembangan organ. Dengan demikian para biologiwan dapat memodifikasi arah perkembangan tanaman yang diinginkan. Pengaplikasian teknik ini yang sudah berhasil dilakukan adalah telah terciptanya batang pohon jati yang dapat tumbuh dengan diameter besar dan lurus.

c. Dengan menggunakan teknik kultur Jaringan, tanaman yang sudah diketahui berkhasiat sebagai obat, atau pun tanaman budi daya yang sudah diketahui keunggulan mutunya, dapat diproduksi dengan waktu singkat, dalam jumlah yang banyak, tanpa memerlukan lahan yang luas, dan dengan kondisi steril. Teknik kultur jaringan ini termasuk salah satu usaha kloning, dimana individu-individu baru yang dihasilkan akan sama persis atau identik dengan suatu tanaman yang sudah diketahui manfaat maupun keunggulannya. Adapun contoh-contoh tanaman budi daya yang sudah berhasil diperbanyak dengan teknik kultur jaringan tersebut antara lain tanaman kelapa sawit, tanaman anggrek, tanaman pisang barangan, dan wortel.

d. Teknik Mutasi Buatan merupakan usaha merubah susunan atau jumlah materi genetik/DNA dengan menggunakan radiasi sinar radioaktif (sinar X, alpha, beta dan gamma) atau dengan senyawa kimia (kolkisin). Teknik mutasi dengan sinar gamma biasanya ditujukan untuk menghasilkan biji-biji tanaman padi dan palawija, agar berumur pendek (cepat dipanen), hasilnya banyak dan tahan terhadap serangan hama wereng. Selain itu, terdapat teknik mutasi buatan lainnya, yakni teknik perendaman biji-biji tanaman perkebunan dan pertanian dalam senyawa kolkisin, senyawa ini menyebabkan tanaman mempunyai buah yang besar dan tidak berbiji; misalnya buah semangka, pepaya, jeruk, dan anggur tanpa biji, seperti pada gambar 22 berikut. Namun sayangnya tanaman ini tidak dapat menghasilkan tanaman baru sebagai keturunannya, karena buah-buahan yang dihasilkan tidak memiliki organ reproduksi yaitu biji. Lalu bagaimanakah caranya bila kita menghendaki buah-buahan tanpa biji lagi? Ya benar, kita harus memulai lagi dari perendaman biji-biji (benih) dari buah yang memiliki biji, dengan senyawa kolkisin. Baru kemudian ditanam dan ditunggu hasil buahnya yang pasti tidak memiliki biji.


(a)
(b)

Gambar 22. Buah-buahan tanpa biji
hasil mutasi buatan; (a) pepaya,(b) jeruk.

Demikianlah pemanfaatan Biologi dalam bidang pertanian. Bagaimana, sampai di sini apakah Anda sudah memahami seluruh uraian yang diberikan? Bagus! Untuk memperkaya wawasan Anda mengenai pemanfaatan Biologi bagi kehidupan manusia, sekarang pelajarilah bagaimana pemanfaatan Biologi pada dunia Peternakan berikut ini. Sumbangan apakah yang sudah diberikan Biologi dalam upaya mengatasi masalah rawan pangan dan perbaikan gizi masyarakat?
.




MENGENDALIKAN ULAT GRAYAK PADA TANAMAN PADI





Ulat grayak ini menyerang tanaman padi pada semua stadia. Serangan terjadi biasanya pada malam hari sedangkan siang harinya larva ulat grayak bersembunyi pada pangkal tanaman, dalam tanah atau di tempat-tempat yang tersembunyi. Seranga ulat ini memakan helai-helai daun dimulai dari ujung daun dan tulang daun utama ditinggalkan sehingga tinggal tanaman padi tanpa helai daun. Pada tanaman yang telah membentuk malai, ulat grayak seringkali memotong tangkai malai, bahkan ulat grayak ini juga menyerang padi yang sudah mulai menguning . Batang padi yang mulai menguning itu membusuk dan mati yang akhirnya menyebabkan kegagalan panen. Serangan saat padi menguning atau keluar malai inilah yang sangat merugikan petani.
Ulat grayak mempunyai sifat polyfag (makan semua tanaman) sehingga ulat grayak bukan hanya menyerang tanaman padi, tetapi ulat grayak (Spodoptera litura) malah lebih sering menyerang tanaman cabai, bawang merah, dan kedelai. Hama ini dapat menyerang suatu tanaman dengan sangat cepat, bahkan dalam sehari suatu tanaman dapat habis daunnya karena diserang oleh gerombolan ulat grayak. Organisme pengganggu tanaman (OPT) ini menggrogoti bagian daun mulai dari tepi hingga bagian atas atau bawahnya bahkan hingga tersisa epidermisnya saja. Jika daun suatu tanaman rusak, maka tanaman tidak dapat fotosintesis dan tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman tersebut.
Serangga dewasa dari jenis Leucania Separata memiliki ukuran panjang bentangan sayap depan antara 45 - 50 mm dengan warna bervariasi antara merah bata sampai coklat. Serangga ini berumur 3 - 7 hari dan untuk seekor serangga betina ini dapat bertelur sebanyak 80 - 230 butir.
Serangga dewasa jenis Spodoptera litura, memiliki ukuran panjang badan 20 - 25 mm, berumur 5 - 10 hari dan untuk seekor serangga betina jenis ini dapat bertelur 1.500 butir dalam kelompok-kelompok 300 butir. Serangga ini sangat aktif pada malam hari, sementara pada siang hari serangga dewasa ini diam ditempat yang gelap dan bersembunyi.
Serangga ini memiliki telur dengan bentuk bulat. Telur dari serangga Leucania separata susunannya diletakkan dalam 2 barisan dalam gulungan daun atau pada pangkal daun permukaan sebelah bawah, dengan ukuran 0,5 x 0,45 mm, berwarna putih abu-abu dan berubah menjadi kuning sebelum menetas. Sedangkan serangga Spodoptera F susunan telurnya diletakkan dalam kelompok tiap kelompok tersusun oleh 2 - 3 lapisan telur, dan kelompok telur tertutup oleh bulu-bulu pendek berwarna coklat kekuningan dengan umur telur 3 - 4 hari.
Larva Leucania separata memiliki jumlah instar 6 dengan ukuran instar 1 panjang 1,8 mm dan instar 6 panjang 30 - 35 mm berwarna hijau sampai merah jambu dan berumur 14 - 22 hari. Pada bagian punggungnya terdapat 4 garis berwarna hitam yang membujur sepanjang badan.
Larva Spodoptera litura memiliki jumlah instar 5 dengan ukuran instar 1 panjang 1,0 mm dan instar 5 panjang 40 - 50 mm berwarna coklat sampai coklat kehitaman dengan bercak-bercak kuning dan berumur 20 - 26 hari. Sepanjang badan pada kedua sisinya masing-masing terdapat 2 garis coklat muda.
Serangga ulat Grayak perlu diwaspadai karena pada siang hari tidak tampak dan biasanya bersembunyi di tempat yang gelap dan didalam tanah, namun pada malam hari melakukan serangan yang hebat dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen, mungkin itulah sebabnya maka serangga ini disebut sebagai ulat grayak.
Pada lahan sawah yang kering sering sekali terserang oleh hama ulat grayak oleh karena itu, untuk pengendalian ulat grayak ini kondisi tanah sawah hendaknya diari dan perlu pengamatan lebih awal agar tidak terjadi serangan yang hebat.
Pengamatan awal dapat dilakukan dengan cara apabila ada kupu-kupu atau ngengat serta terlihat adanya telur serangga dapat dilakukan dengan cara mekanis yaitu menangkap kupu-kupu dengan menggunakan jaring serta membunuh telur-telur serangga yang dijumpai.
Meskipun umur larva atau ulat grayak ini berkisar 20 - 26 hari, namun perlu diwaspadai karena larva atau ulat ini dapat menyerang hampir semua fase pertumbuhan tanaman termasuk padi pada semua stadium pertumbuhan.
Setelah 20 - 26 hari ulat ini hidup dan menyerang tanaman, maka ia akan berubah menjadi kepompong dan selanjutnya berubah jadi kupu-kupu. Kupu-kupu bertelur dan setelah 4 - 5 hari akan menetas menjadi ulat atau larva yang akan menyerang tanaman.

Kalau diringkas bioekologi hama ulat grayak adalah sebagai berikut :

bioekologi ulat grayak




Cara mengendalikan ulat grayak menurut Muhammad Arifin yang sebagai seorang profesor dan peneliti di Badan Litbang Pertanian adalah sebagai berikut :
  1. Insektisida nabati adalah ekstrak tanaman yang mempunyai sifat-sifat insektisida. Azadirachtin yang diekstrak dari daun dan biji mimba (Azadirachta indica) merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif insektisida. Azadirachtin berperan sebagai penghambat pertumbuhan dan proses metamorfosis, penghalang kegiatan makan, penolak kehadiran serangga (repellent), dan pemandul serangga (sterillant) (Shetlar dan Hale, 2008). Insektisida nabati dengan bahan aktif azadirachtin efektif terhadap ulat grayak. Serbuk biji mimba (50 g/l air) mampu mematikan ulat instar III sebesar 67% - 83% (Indiati, 2009; Koswanudin, 2002). Insektisida ini memiliki sifat, antara lain persistensinya singkat sehingga diperlukan aplikasi berulang agar mencapai keefektifan maksimal (Indiati, 2009).
  2. Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang, bersifat aerobik, dan membentuk spora. Bakteri ini mengandung protein kristal (δ-endotoksin) dalam inclusion body yang menyebabkan paralysis pada usus sehingga serangga berhenti makan dan mengakibatkan kematian (Bahagiawati, 2002). Bt var kustaki mudah diproduksi dan efektif terhadap ulat grayak. Nilai LC50 dalam waktu 72 jam untuk ulat instar III sebesar 259,895 ppm (Nurramdhan, 2005). Bt memiliki daya racun rendah, residu rendah, degradasi lambat, dan aktivitas kontak terbatas. Keberhasilan Bt bergantung pada kegiatan monitoring dan aplikasi bila serangga dalam siklus hidup yang rentan (Williamson, 1999).
  3. Metarhizium anisopliae adalah cendawan patogen pada berbagai jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah. Cendawan ini memiliki kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan tidak mengakibatkan resistensi (Hall, 1973). Spora (disebut juga konidia) yang kontak dengan tubuh serangga inang akan berkecambah kemudian mempenetrasi kutikula dan berkembang dalam tubuh serangga yang mengakibatkan kematian. Pengaruh mematikan ini dibantu oleh racun yang disebut destruxin. Kutikula ulat mati mengeras seperti mumi dan tumbuh spora berwarna putih yang kemudian menjadi hijau bila kelembaban cukup tinggi (Wikipedia, 2009). Cendawan patogen serangga ini mudah diperbanyak dan efektif terhadap ulat grayak. Konidia dengan konsentrasi 107/ml yang diaplikaskan satu kali mampu mematikan ulat grayak hingga 40% sedangkan yang diaplikasikan tiga kali meningkat menjadi 83% (Prayogo et al., 2005).
  4. Nomuraea rileyi adalah cendawan patogen pada berbagai jenis serangga. Spora cendawan ini menempel pada tubuh serangga kemudian berkecambah dan mempenetrasi dinding tubuh. Di dalam tubuh ulat, cendawan ini merusak jaringan dengan menggunakan mikotoksin yang dihasilkannya. Akibatnya, metabolisme ulat terganggu, aktivitas makan menurun, dan akhirnya mati dengan tubuh seperti mumi. Sporulasi cendawan dimulai 1-2 hari setelah ulat mati (Deacon, 1983). Cendawan patogen serangga ini mudah diperbanyak dan efektif terhadap ulat grayak. Aplikasi dilakukan melalui penyemprotan spora dengan dosis 500 l/ha. Nilai LC50 cendawan ini untuk ulat grayak instar IIIsebesar 1,471 x 106 spora/ml (Suparjiyem et al., 2006).
  5. Steinernema dan Heterorhabditis adalah nematoda yang mampu menginfeksi berbagai jenis serangga karena masing-masing bersimbiosis-mutualistik dengan bakteri patogen Xenorhabdatus dan Photorhabdusdalam saluran pencernakan (Kaya dan Gaugler, 1993). Stadia instar III yang disebut juvenil infektif (JI) hidup bebas di dalam tanah, masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang mulut, anus, atau spirakel dan membran antar ruas integumen (U Mass Extension, 2000) Di dalam rongga tubuh serangga, JI melepaskan bakteri simbionnya. Bakteri memperbanyak diri, membunuh serangga melalui proses peracunan darah serangga (septicaemia) dan menyediakan kondisi lingkungan hidup yang sesuai bagi pertumbuhan dan reproduksi nematoda. Setelah 1-2 minggu, JI baru yang terbentuk meninggalkan tubuh serangga mati dan mencari inang baru.Steinernema dan Heterorhabditis efektif terhadap ulat grayak. Pada dosis 500 JI/ekor ulat, kedua jenis nematoda tersebut mampu mematikan ulat grayak 98% (Chaerani dan Suryadi, 1999). Nematoda diaplikasikan di lapang dengan dosis 109 JI/ha (Biogen, 2004).
  6. NPV (nuclear-polyhedrosis virus) adalah virus patogen serangga berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion body yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak, terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea. NPV memiliki sifat menguntungkan, antara lain: a) inangnya spesifik, b) tidak membahayakan musuh alami, manusia, dan lingkungan, (c) dapat mengatasi masalah resistensi hama terhadap insektisida, dan (b) kompatibel dengan taktik PHT lainnya, termasuk insektisida kimiawi (Arifin et al., 1995).
  7. Ulat grayak yang terinfeksi SlNPV (Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus) tampak berminyak, disertai dengan membran integumen yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman. Bioinsektisida SlNPV dengan dosis 500 g/ha (setara dengan 1,5 x 1011 PIBs/ha) yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, masing-masing dengan dosis 250 g/ha, efektif terhadap ulatgrayak pada kedelai. Perlakuan SlNPV tersebut menurunkan populasi ulat 91% lebih rendah dan menyelamatkan kehilangan hasil 14% lebih tinggi daripada perlakuan insektisida (Arifin et al., 1995).
  8. Feromon serangga adalah senyawa yang dihasilkan oleh serangga betina dan merupakan sarana komunikasi dengan serangga lain dari spesies sama. Feromon digunakan oleh serangga untuk daya tarik seksual, berkumpul, berpencar, peletakan telur, dan tanda peringatan. Khusus seks feromon, ada empat kegunaannya dalam program pengendalian hama, yakni sebagai bahan perangkap, monitoring penerbangan, deteksi dan monitoring populasi, serta pengganggu perkawinan bagi serangga jantan (Williamson, 1999). Umumnya senyawa ini tidak digunakan secara efektif untuk mengendalikan hama, tetapi digunakan sebagai bahan perangkap dalam kegiatan pemantauan populasi hama. Ilmuan telah mampu menganalisis kimia dari seks feromon dan memproduksinya secara sintetik di laboratorium (Suharto, 1996). Sebanyak tiga buah perangkap berisi seks feromon yang dipasang pada pertanaman kedelai umur 1-5 minggu mampu menarik ngengat ulat grayak sebanyak 417-615/ha (Chiu et al., 1993).
  9. Faktor lingkungan, terutama sinar surya 290 hingga 400 nm, dapat menginaktivasi patogen serangga (bakteri, cendawan, virus, dan protozoa). Umur paruh berbagai tipe inokulum (konidia, spora, virion, dan toksin) yang disinari sinar surya tercapai dalam 1 jam untuk patogen serangga sensitif dan 96 jam untuk patogen serangga resisten (Ignoffo, 1992)
Kalau menurut pengalaman maspary cara mengendalikan ulat grayak pada tanaman padi bisa dilakukan dengan :
  1. Monitoring atau pemantauan. Setiap waktu kita harus waspada dan paling lama seminggu sekali maspary mengajak rekan-rekan petani untuk mengamati tanaman padi kita. Kiat cari ada hama apa saja pada tanaman kita serta kita amati gejala-gejala serangan hama maupun penyakit yang ada. Dengan pengamatan secara dini otomatis kita akan cepat mendeteksi adanya serangan hama ulat grayak. Kalau kita mengetahui secara awal serangan hama tersebut maka dengan mudah kita bisa mengendalikan hama tersebut. Maksudnya kalau ulat masih kecil (instar I sampai III) itu masih mudah mati dengan insektisida yang murah-murah karena kulitnya masih tipis sehingga bisa dibunuh melalui racun kontak. Seperti bahan aktif : fipronil, betasiflutrin, deltametrin, lamdasihalotrin, alfasipermetrin dll
  2. Kalau serangan belum parah kita bisa melakukan tindakan pengendalian secara mekanik, yaitu mengambili ulat maupun kepompong ulat grayak tersebut. Ulat dan kepompong ulat grayak tersebut bisa kita manfaatkan untuk pakan ayam, lele atau piaraan kita yang lain. Bahkan kalau mau ulat dan kepompong tersebut bisa kita goreng atau dibikin peyek untuk lauk kita. Menurut penelitian yang pernah maspary baca, ulat maupun kepompong mempunyai kandungan protein yang sangat tinggi.
  3. Dengan cara perendaman. Maksudnya kita airi sawah kita agar ulat grayak yang bersembunyi di dalam tanah terendam dan akhirnya mati kehabisan nafas.
  4. Setelah siang kita rendam malamnya kita harus melakukan pemantauan, biasanya si ulat grayak akan keluar. kalau memungkinkan pada malam hari itu juga kita lakukan penyemprotan dengan insektisida. Menurut maspary, Jika ulatnya sudah besar biasanya sangat sulit dikendalikan dengan insektisida. Kita harus pandai-pandai memilih insektisidanya. Saran maspary jika larva ulat grayak sudah gede harus disemprot dengan insektisida yang bekerja sebagai racun perut yang kuat seperti Larvin milik PT.Bayer atau menggunkan Poxim milik PT.Indagro. Bisa juga menggunakan insektisida biologis yang lebih ramah terhadap lingkungan (bacillus thuringiensis).  Xenthari, Thurex atau dipel. Karena menurut pengalaman maspary baik itu dipel, xenthari atau thurex merupakan racun perut ulat yang sangat kuat. Atau mungkin rekan-rekan ada alternatif insektisida racun perut yang lain bisa digunakan.
Demikian beberapa informasi tentang tips mengendalikan ulat grayak pada tanaman padi semoga bisa menjadi informasi untuk rekan-rekan petani yang sedang terjadi musibah serangan ulat grayak. Akhir kata maspary ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan petani indonesia yang bersedia membaca artikel ini sampai selesai.

Budidaya Tanaman Buah Jambu Mete



Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut Portugis ke India 425 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke daerah tropis dan subtropis lainnya seperti Bahana, Senegal, Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilangka, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di antara sekian banyak negara produsen, Brasil, Kenya, dan India merupakan negara pemasok utama jambu mete dunia. Jambu mete tersebar di seluruh Nusantara dengan nama berbeda-beda (di Sumatera Barat: jambu erang/jambu monye, di Lampung dijuluki gayu, di daerah Jawa Barat dijuluki jambu mede, di Jawa Tengah dan Jawa Timur diberi nama jambu monyet, di Bali jambu jipang atau jambu dwipa, dan di Sulawesi Utara disebut buah yaki.

2. JENIS TANAMAN JAMBU METE
Jambu mete mempunyai puluhan varietas, di antaranya ada yang berkulit putih, merah, merah muda, kuning, hijau kekuningan dan hijau.

3. MANFAAT TANAMAN JAMBU METE
Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Selain itu juga biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi. Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete, buah kalengan, dan jem jambu mete. Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Apabila terkena udara, cairan tersebut berubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Selain itu, kulit batang pohon jambu mete juga berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti gengat yang sering menggerogoti buku. Akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut. Daun Jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, terutama di daerah Jawa Barat. Daun yang tua dapat digunakan untuk obat luka bakar. 


4. SENTRA PENANAMAN JAMBU METE
Tanaman jambu mete banyak tumbuh di Jawa Tengah (Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pasuruan, dan Ponorogo), dan di Yogyakarta (Gunung Kidul, Bantul, dan Sleman). Di luar Pulau Jawa, Jambu mete banyak ditanam di Bali (Karangasem), Sulawesi Selatan (Kepulauan Pangkajene, Sidenreng, Soppeng, Wajo, Maros, Sinjai, Bone, dan Barru), Sulawesi Tenggara (Muna). dan NTB (Sumbawa Besar, Dompu, dan Bima).

5. SYARAT TUMBUH JAMBU METE

5.1. Iklim Yang Cocok Untuk Budidaya Jambu Mete
  • Tanaman jambu mete sangat menyukai sinar matahari. Apabila tanaman jambu mete kekurangan sinar matahari, maka produktivitasnya akan menurun atau tidak akan berbuah bila dinaungi tanaman lain.
  • Suhu harian di sentra penghasil jambu mete minimun antara 15-25°C dan maksimun antara 25-35°C. Tanaman ini akan tumbuh baik dan produktif bila ditanam pada suhu harian rata-rata 27°C.
  • Jambu mete paling cocok dibudidayakan di daerah-daerah dengan kelembaban nisbi antara 70-80%. Akan tetapi tanaman jambu mete masih dapat bertoleransi pada tingkat kelembaban 60-70%.
  • Angin kurang berperan dalam proses penyerbukan putik tanaman jambu mete. Dalam penyerbukan bunga jambu mete, yang lebih berperan adalah serangga karena serbuk sari jambu mete pekat dan berbau sangat harum.
  • Daerah yang paling sesuai untuk budidaya jambu mete ialah di daerah yang mempunyai jumlah curah hujan antara 1.000-2.000 mm/tahun dengan 4-6 bulan kering (<60 mm).
5.2. Media Tanam
  • Jenis tanah paling cocok untuk pertanaman jambu mete adalah tanah berpasir, tanah lempung berpasir, dan tanah ringan berpasir.
  • Jambu mete paling cocok ditanam pada tanah dengan pH antara 6,3 - 7,3, tetapi masih sesuai pada pH antara 5,5 - 6,3.
5.3. Ketinggian Tempat
Di Indonesia tanaman jambu mete dapat tumbuh di ketinggian tempat 1-1.200 m dpl. Batas optimum ketinggian tempat hanya sampai 700 m dpl, kecuali untuk tujuan rehabilitasi tanah kritis.

6. PEDOMAN BUDIDAYA JAMBU METE

6.1. Pembibitan Jambu Mete

Budidaya jambu mete dapat diperbanyak secara generatif melalui biji dan secara vegetatif dengan cara pencangkokan, okulasi, dan penyambungan. Biji yang akan ditanam harus berasal dari pohon induk pilihan. Cara penanganan biji mete untuk benih adalah :
  • Buah mete/calon bibit dipanen pada pertengahan musim panen.
  • Buah mete tersebut harus sudah matang dan tidak cacat.
  • Biji mete segera dikeluarkan dari buah semu lalu dicuci bersih, kemudian disortir.
  • Biji mete dijemur sampai kadar air 8-10%.
  • Bila dikemas dalam kantong plastik, aliran udara di ruang penyimpanan harus lancar dengan suhu antara 25-30 derajat C dan kelembaban: 70 -80%.
  • Lama penyimpanan bibit ± 6 bulan, paling lama 8 bulan.
  • Sebelum ditanam, benih (biji mete) harus disemai dahulu.
6.2. Pengolahan Media Tanam

1) Persiapan
Sebelum ditanami lahan harus dibersihkan dahulu, pH harus 4-6, tanah tanaman jambu mete sangat toleran terhadap lingkungan yang kering ataupun lembab, juga terhadap tanah yang kurang subur. Daerah dengan tanah liat pun jambu mete dapat tetap bisa hidup dan berproduksi dengan baik. saat tanam jambu mete adalah awal musim hujan, pengolahan tanah sudah dimulai di musim kemarau.

2) Pembukaan lahan
Lahan yang akan ditanami jambu mete harus terbuka atau terkena sinar matahari dan disiapkan sebaik-baiknya.Tanah dibajak/dicangkul sebelum musim hujan. Batang-batang pohon disingkirkan dan dibakar, untuk tanah yang pembuangan airnya kurang baik dibuatkan parit-parit drainase.

3) Pemupukan
Pemberian pupuk kandang dimulai sejak sebelum penanaman. Sebaiknya disaat tanaman masih kecil, pemupukan dengan pupuk kandang itu diulangi barang dua kali setahun. Caranya dengan menggali lubang sekitar batang, sedikit diluar lingkaran daun. pupuk atau kompos dimasukkan kedalam lubang galian itu. Pemupukan berikutnya dilakukan dengan menggali lubang, diluar lubang sebelumnya. Pemberian pupuk kandang dan kompos, kecuali dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan fisik tanah.

6.3. Teknik Penanaman

1) Penentuan Pola dan Jarak Tanam 
Pada budi daya monokultur jarak tanam dianjurkan 12 x 12 m. Maka dalam setiap satu ha lahan jumlah total tanaman yang dibutuhkan sebanyak 69 batang. Jarak tanam dapat dibuat dengan ukuran 6 X 6 m sehingga jumlah total tanaman yang dibutuhkan adalah 276 batang/ha. Kerapatan tanaman kemudian dijarangkan pada umur 6-10 tahun. Untuk efisiensi lahan, dapat diterapkan budidaya polikultur. Beberapa jenis tanaman bernilai ekonomis dapat dimanfaatkan sebagai tanaman sela. Sebagai contoh adalah tanaman palawija, rumput setaria, dan jambu mete. Bibit jambu mete yang berasal dari pencangkokan dapat ditanam dengan jarak 5 x 5 m, bila jarak tanam jambu mete 10 x 10 m. Kedua bentuk ini hanya dapat diterapkan di lahan datar. Di lahan miring harus disesuaikan dengan garis kontur.

2) Pembuatan Lubang Tanam
Cara membuat lubang tanam:
1. Tanah digali dengan ukuran : 30 x 30 x 30 cm. Bila jenis tanahnya sangat liat, ukuran lubang tanam dibuat: 50 x 50 x 50 cm. Bila di lubang tanam terdapat lapisan cadas, harus ditembus, agar akar dapat tumbuh sempurna dan terhindar dari genangan air.

2. Pada waktu penggalian lubang, lapisan tanah bagian atas dipisahkan ke arah Utara dan Selatan serta lapisan bawah ke arah Timur dan Barat.

3. Lubang tanam dibiarkan terbuka ± 4 minggu. Pada waktu penutupan lubang, tanah lapisan bawah dikembalikan ke tempat semula, disusul lapisan atas yang telah bercampur dengan pupuk kandang ± 1 pikul.

4. Di lubang tanam yang telah ditimbun dibuat ajir agar lubang tanam mudah ditemukan kembali.

3) Cara Penanaman
Penanaman dapat dilakukan 4–6 minggu setelah lubang tanam disiapkan. Untuk mengurangi keasaman tanah, pembuatan lubang tanam sebaiknya dilakukan pada musim kemarau.Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
  • Bibit yang akan ditanam dilepas dari polybag. Tanah yang melekat pada akar dijaga jangan sampai berantakan agar perakaran bibit tidak rusak.
  • Penanaman dilakukan sampai sebatas leher akar atau sama dalamnya seperti sewaktu masih dalam persemaian. Bila menggunakan bibit dari okulasi dan sambung, diusahakan akar tunggangnya tetap lurus. Letak akar cabang diusahakan tersebar kesegala arah. Ujung-ujungnya yang patah/rusak sebaiknya dipotong.
  • Tanah disekitar batang dipadatkan dan diratakan agar tidak dapat terdapat rongga-rongga udara diantara akar dan tidak terjadi genangan air. Tanaman perlu diberi penyangga dari bambu agar dapat tumbuh tegak.
    6.4. Pemeliharaan Tanaman Jambu Mete

    1) Penyiraman 
    Bibit yang baru ditanam memerlukan banyak air. Oleh karena itu tanaman perlu disiram pada pagi dan sore hari. Penyiraman dilakukan secukupnya dan air siraman jangan sampai menggenangi tanaman.

    2) Penyulaman
    Penyulaman dilakukan setalah tanaman berumur 2-3 tahun. Apabila tanaman berumur =3 tahun maka pertumbuhan tanaman sulaman umumnya kurang baik atau akan terhambat.

    3) Penyiangan dan Penggemburan 
    Bibit jambu mete mulai berdaun dan bertunas setelah 2-3 bulan ditanam. Pembasmian gulma sebaiknya dilakukan sekali dalam 45 hari. Tanah yang disiram setiap hari tentu semakin padat dan udara di dalamnya semakin sedikit. Akibatnya, akar tanaman tidak leluasa menyerap unsur hara. Untuk itu tanah di sekitar tanaman perlu digemburkan.

    4) Pemupukan
    Tanaman jambu mete dipupuk dengan pupuk kandang, kompos, atau pupuk buatan. Pemberian pupuk kandang/ kompos dilakukan dengan cara menggali parit melingkar, di luar tajuk sebanyak ± 2 blek minyak tanah (.... 20 kg). Pupuk dituangkan ke dalam parit dan ditutup dengan tanah. Pemupukan berikutnya dilakukan dengan pupuk buatan.

    5) Pemangkasan Cara pemangkasan tanaman jambu mete dilakukan sebagai berikut:
    • Tunas-tunas samping pada bibit terus-menerus dipangkas sampai tinggi cabang mencapai 1 - 1,5 m dari tanah.
    • Pilih 3 - 5 cabang sehat dan baik posisinya terhadap batang pokok .
    • Pemangkasan ini dilakukan sebelum tanaman berbunga. Pemangkasan untuk pemeliharaan dilakukan setelah tanaman berbuah.
      6) Penjarangan
      Penjarangan dilakukan bertahap pada saat tajuk tanaman saling menutupi. Apabila jarak tanaman 6 x 6 m dan ditanam secara monokultur maka tajuk tanaman diperkirakan sudah bersentuhan pada tahun 6 - 10 tahun. Pada saat itu penjarangan mulai dilakukan.

      7. HAMA DAN PENYAKIT JAMBU METE

      7.1. Hama Jambu Mete
      Hama yang sering menyerang tanaman jambu mete adalah hama pengisap daun, nyamuk daun, penggerek daun, penggulung daun, ulat kipat, ulat hijau, dan ulat perusak bunga. Insektisida yang dianjurkan antara lain: Tamaron, Folidol, Lamnate, Basudin dan Dimecron dengan dosis 2cc atau 2 gram/liter air.

      1. Ulat kipat (Cricula trisfenestrata Helf)
      • Pada tanaman terlihat kepompong bergelantungan. Ulat berwarna hitam bercak-bercak putih, kepala dan ekor warna merah nyala, seluruh tubuhnya ditumbuhi.rambut putih. Telurnya berwarna putih, oval. Fase pupa berlangsung 4 minggu, fase kepompong 3-5 minggu.
      • Gejala: daun-daun tidak utuh dan terdapat bekas gigitan; pada serangan yang hebat, daun dapat habis sama sekali, tetapi tanaman tidak mati; tanaman tidak akan menghasilkan buah, dan baru pulih setelah 18 bulan.
      • Pengendalian: dengan menyemprotkan insektisida Symbush 50 EC atau Pumicidin dengan dosis 1,0 - 1,5 ml/liter air
      2. Helopeltis sp.
      • Tubuh imago berwarna hitam, kecuali abdomen bagian belakang sebelah bawah berwarna putih.
      • Gejala: pada tunas-tunas daun muda, tangkai daun terdapat bercak-bercak hitam tidak merata; daun dan ranting segera mengering dan diikuti dengan gugurnya daun.
      • Pengendalian: melalui teknik bercocok tanam, misalnya dengan mengurangi tanaman inang atau tanaman peneduh; dengan insektisida Agroline dengan dosis 0,2 % atau Thiodan dengan dosis 0,02 %.
        3. Ulat penggerek batang (Plocaederus feeeugineus L)
        • Gejala: mula-mula daun berubah warna menjadi kuning; lama-kelamaan daun akan gugur/rontok dan tanaman dapat mati.
        • Pengendalian: dengan menangkap ulat penggerek tersebut; dengan mengolesi sekitar permukaan batang/akar dengan larutan BMC 1-2% (20 gram/liter air).
        4. Hama penggerek buah dan biji (Nephoteryx sp.)
        • Gejala: buah muda yang diserang hama ini akan berjatuhan dan kering, sedang buah tua isinya belum penuh.
        • Pengendalian: belum didapatkan cara yang tepat, sebab larva instar yang jatuh terakhir dan menjadi pupa di tanah, maka hama dapat diberantas secara mekanis atau kimiawi, yaitu dengan menggunakan Karbaril 0,15%.

          7.2. Penyakit Jambu Mete
          Penyakit yang sering menyerang adalah penyakit busuk batang dan akar, penyakit bunga dan putik, dan Antracnossis. Penyakit ini dapat dibasmi dengan Fungisida Zinc Carmamate, Captacol dan Theophanatea.
          Penyakit layu
          • Penyakit ini muncul bila tempat pembibitan terlalu lembab dan jenuh air.
          • Penyebab: jamur Phytophthora palmivora, Fusarium sp. dan Phytium sp.
          • Gejala: bila tanaman tiba-tiba menjadi layu.
          • Pengendalian: dengan memperbaiki lingkungan pembibitan, seperti memperdalam parit pembuangan air dan mengurangi naungan yang terlalu rapat; dengan penyemprotan Dithane M 45 secara teratur dan terencana.
            Daun layu dan kering
            • Penyebab: bakteri Phytophthora solanacearum.
            • Gejala: secara mencolok daun-daun berubah warna dari hijau menjadi kuning lalu gugur; beberapa cabang meranggas dan tanaman akhirnya mati; jaringan kayu pada batang yang terserang di bawah kulit berwarna hitam atau biru tua dan berbau busuk.
            • Pengendalian: tanaman yang terserang penyakit ini harus dibongkar sampai ke akar-akarnya supaya penyakit tidak menular ke tanaman lain; pencegahan harus secara terpadu; bibit dan alat-alat pertanian harus bebas dari kontaminasi bakteri dan karantina tanaman dilakukan secara konsekuen.
            Bunga dan buah busuk
            • Penyebab: Colletrichum sp., Botryodiplodia sp., Pestalotiopsis sp. --> Gejala: kulit buah hitam dan busuk.
            • Penyebab: Pestalotiopsis sp, Colletrichum sp, Pestalotiopsis sp., Botryodiplodia sp., Fusarium sp. --> Gejala: permukaan kulit buah & kulit biji, kering kecoklatan & pecah-pecah, bunga & tangkainya busuk.
            • Penyebab : Botryodiplodia sp. , Fusarium sp., Pestalotiopsis sp. -- > Gejala: kulit biji busuk dan hitam.
            • Pengendalian: perlu dilakukan secara terpadu; untuk memberantas jamur parasit ini beberapa fungisida yang efektif adalah Dithane M-45, Delsene MX 200, Difolan 4F, Cobox, dan Cuproxy Chloride.

            8. PANEN JAMBU METE

            8.1. Ciri dan Umur Panen Jambu Mete
            Ciri-ciri buah jambu mete yang sudah tua adalah sebagai berikut:
            • Warna kulit buah semu menjadi kuning, oranye, atau merah tergantung pada jenisnya.
            • Ukuran buah semu lebih besar dari buah sejati.
            • Tekstur daging semu lunak, rasanya asam agak manis, berair, dan aroma buahnya mirip aroma stroberi.
            • Warna kulit bijinya menjadi putih keabu-abuan dan mengilat. Ketepatan masa panen dan penanganan buah mete selama masa pemanenan merupakan faktor penting. Tanaman jambu mete dapat dipanen untuk pertama kali pada umur 3-4 tahun. Buah mete biasanya telah dapat dipetik pada umur 60-70 hari sejak munculnya bunga. Masa panen berlangsung selama 4 bulan, yaitu pada bulan November sampai bulan Februari tahun berikutnya. Agar mutu gelondong/kacang mete baik, buah yang dipetik harus telah tua.
            8.2. Cara Panen
            Sampai saat ini ada dua cara panen yang lazim dilakukan di berbagai sentra jambu mete di dunia, yaitu cara lelesan dan cara selektif.

            a) Cara lelesan
            Dilakukan dengan membiarkan buah jambu mete yang telah tua tetap di pohon dan jatuh sendiri atau para petani menggoyang-goyangkan pohon agar buah yang tua berjatuhan. 

            b) Cara selektif
            Dilakukan secara selektif (buah langsung dipilih dan dipetik dari pohon). Apabila buah tidak memungkinkan dipetik secara langsung, pemanenan dapat dibantu dengan galah dan tangga berkaki tiga.

            8.3. Prakiraan Produksi

            Banyaknya hasil panen tergantung dari umur tanam. Jambu mete yang berumur 3-4 tahun dapat menghasilkan gelondong kering 2-3 kg/pohon. Hasil ini meningkat menjadi 15-20 kg/pohon pada umur 20-30 tahun. Tanaman jambu mete sebenarnya masih dapat berproduksi sampai umur 50 tahun, tetapi masa paling produktifnya adalah pada umur 25-30 tahun.

            9. PASCAPANEN JAMBU METE

            9.1. Pengumpulan 
            Mutu kacang mete di pasaran cukup bervariasi. Variasi mutu kacang mete tersebut antara lain dipengaruhi oleh varietas tanaman jambu mete yang berbeda dan perlakuan serta pengawasan selama proses pengolahan berlangsung. Banyaknya varietas tanaman jambu mete yang ditanam oleh para petani indonesia menyebabkan mutu mete yang dihasilkan sangat beragam baik mengenai ukuran gelondong, warna, rasa, maupun rendamen kacang metenya.

            9.2. Pengolahan Gelondong Mete
            Pengolahan gelondong mete dapat dilakukan melalui tahapan berikut ini:
            • Pemisahan gelondong dengan buah semu
            • Pencucian
            • Sortasi dan pengelasan mutu
            • Pengeringan
            • Penyimpanan
            9.3. Pengolahan Kacang Mete
            Urutan pengolahan kacang mete adalah: 
            • Pelembaban gelondong mete
            • Penyangraian gelondong mete
            • Pengupasan kulit gelondong mete
            • Pelepasan kulit ari
            • Sortasi dan pengelasan mutu
            • Pengemasan.